Selama ini Budaya Awangbangkal dianggap identik dengan peralatan batu tua (paleolitik) yang bercirikan alat-alat masif (besar) dan secara teknologis dibuat dari bahan kerakal yang dibuat sangat sederhana melalui beberapa pangkasan dengan unsur utamanya kapak perimbas. Alat-alat paleolitik tersebut pada awalnya ditemukan di aliran Sungai Riam Kanan, Kalimantan Selatan sebelum lokasi ini dijadikan waduk. Namun karena lokasi penemuannya yang tidak jelas dan jumlah temuan artefak yang sangat terbatas, menyebabkan informasi Budaya Awangbangkal menjadi tidak jelas. Pada sekitar tahun 1972 areal lokasi penemuan alat-alat paleolitik di Desa Awangbangkal hilang dan musnah karena ditenggelamkan untuk pembuatan waduk besar Riam Kanan, sehingga seluruh data yang berkaitan dengan tinggalan budaya tertua di wilayah ini lenyap dan menjadi misteri sampai sekarang. Setelah hampir 45 tahun tidak terdengar gaungnya, Budaya Awangbangkal yang sudah sulit ditemukan tersebut mulai terkuak lagi ketika waduk Riam Kanan mengalami penurunan debit air (surut) yang sangat drastis sehingga muncul daratan-daratan (= pulau) baru yang dulu tenggelam. Peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 2016 ini telah membawa manfaat yang sangat besar dan signifikan bagi perkembangan dunia arkeologi, karena alat-alat paleolitik 'Budaya Awangbangkal' yang telah hilang kini muncul kembali dalam konteks dan lokasi yang lebih lengkap dan jelas. Peristiwa yang sangat langka dan belum tentu terulang lagi ini kemudian segera ditindaklanjuti oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan yang melakukan penelitian secara cepat melalui program penanggulangan kasus (crash programme) pada awal bulan Januari 2017.
Berdasarkan penelitian tersebut telah ditemukan sejumlah temuan alat-alat batu yang sangat melimpah dan variatif jenisnya, serta tidak hanya sebatas alat-alat masif (kapak perimbas) saja. Pandangan terhadap Budaya Awangbangkal tampaknya harus ditinjau ulang semenjak ditemukannya pusat pembuatan alat-alat batu (= perbengkelan?) di sebuah pulau kecil (Pulau Sirang). Jejak tinggalan alat-alat paleolitik ‘Budaya Awangbangkal’ yang sudah lama menghilang dan menjadi misteri tersebut telah terkuak kembali. Alat-alat paleolitik dengan berbagai tipe dan variasi ditemukan dalam hamparan di sebuah pulau kecil (seluas sekitar 1 hektar) yang dinamakan Pulau Sirang. Penelitian bersifat penyelamatan melalui penaggulangan kasus tersebut selain untuk mengetahui karakter situs dan budayanya juga untuk mengetahui potensi serta gambaran lingkungan masa lampau sebelum situs ini ditenggelamkan.
Latar belakang penemuan alat-alat paleolitik di wilayah Kalimantan pada awalnya diketahui berasal dari aliran Sungai Riam Kanan di Kalimantan Selatan yang kemudian terkenal dengan sebutan "Budaya Awangbangkal". Informasi tentang penemuan alat-alat paleolitik tersebut pada awalnya dilaporkan oleh H. Kupper pada tahun 1939 yang menemukan beberapa artefak batu masif (besar) di pinggiran undak Sungai Riam Kanan di Desa Awangbangkal. Menurut H.R. van Heekeren, alat-alat tersebut pada mulanya digolongkan sebagai tipe Hoabinhian dengan ciri-ciri pangkasan segar dan dibuat secara monofasial, namun pendapatnya kemudian diralat dan menggolongkan temuan tersebut sebagai kelompok budaya kapak perimbas (Heekeren, 1957, 35). Pada tahun 1958, Toer Soetardjo juga melaporkan temuan alat paleolitik berupa sebuah kapak perimbas yang berasal dari dasar Sungai Riam Kanan di Desa Awangbangkal, Kecamatan Karangintan, namun konteks temuan tersebut tidak jelas lokasinya (Soejono, 1984, 102). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Bintarti melalui survei pada tahun 1976 dan menghasilkan beberapa temuan alat paleolitik berupa kapak perimbas berukuran kecil yang didapatkan di dasar Sungai Riam Kanan (Bintarti, 1976; Soejono, 1984,103).
Bukti-bukti tinggalan budaya Paleolitik dari masa prasejarah yang sangat jarang ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan selama ini telah menjadikan problem menarik terhadap perkembangan penelitian arkeologi di Indonesia, terutama berkaitan dengan proses persebaran atau migrasi dan adaptasi manusia terhadap lingkungan serta budayanya pada masa lalu di Kalimantan. Paleolitik merupakan salah satu bentuk budaya tertua yang dibuat oleh manusia awal di mana produk utamanya adalah perkakas atau peralatan yang dibuat dari bahan batuan. Permasalahan tentang tinggalan budaya paleolitik di Indonesia biasanya selalu dikaitkan dengan aspek-aspek migrasi yang menyangkut manusia sebagai pembawa budaya alat batu tua itu sendiri. Selama ini diyakini oleh para ahli bahwa pendukung budaya paleolitik adalah Homo erectus. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun melalui penelitian selama ini, populasi sebaran budaya paleolitik hampir didapatkan di setiap kepulauan di wilayah Indonesia; yaitu mulai dari Sumatra (Nias, Lahat, Baturaja, Tambangsawah, dan Kalianda), Jawa (Ciamis, Jampang Kulon, Parigi, Gombong, Sangiran, Punung, dsb), Kalimantan Selatan (Awangbangkal), Sulawesi Selatan (Cabenge, Paroto, Rala, Wallanae, dsb), Bali (Sembiran, Trunyan), Lombok (Plambik, Batukliang), Sumbawa (Batutring), Sumba Barat (Langang Pamalar), Flores (Liang Mikel, Liang Bua, Cekungan Soa, dsb), Pulau Sabu, dan Timor Barat (Manikin-Noelbaki, Atambua).
(Jatmiko)
ABSTRAK Penelitian arkeologi di wilayah OKU oleh Pusat Arkeologi Nasional merupakan suatu rangkaian penelitian yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan. Pengumpulan data lapangan melalui metode dan teknik berlatar multidisipliner yang…