Artikel ARKENAS

Arkeologi Klasik Hindu Buddha

Dibaca 47892 kali article

Wabah Penyakit dalam Catatan Sejarah di Indonesia

Thursday 09, Apr 2020 17:09 PM / AW

Kisah dan Catatan Sejarah tentang Wabah Penyakit di Indonesia

Indonesia memiliki catatan sejarah dengan rentang waktu yang cukup panjang. Pada masa Hindu-Buddha, sumber sejarah yang dapat diacu adalah prasasti, naskah, dan catatan orang asing yang pernah singgah di Indonesia. Sumber sejarah semakin beragam dan makin lengkap pada masa Islam-Kolonial. Sumber sejarah tersebut mengisahkan berbagai aspek kehidupan sosial di Indonesia. Salah satu yang juga turut dituliskan dalam sumber sejarah tersebut adalah terjadinya wabah penyakit yang melanda sebuah daerah di Indonesia.

Sebuah naskah lontar yang ditulis dalam aksara Bali dengan bahasa Jawa Kuno dari tahun 1462 Saka (1540) menjadi sumber tertua di Indonesia yang mengisahkan tentang terjadinya wabah penyakit. Naskah tersebut adalah naskah Calon Arang. Kisah Calon Arang diperkirakan muncul saat pemerintahan Raja Airlangga (1006-1042) di Jawa Timur. Naskah Calon Arang mengisahkan tentang seorang janda bernama Calon Arang yang memiliki andil besar dalam penyebaran wabah penyakit. Berikut penggalan kisah dalam naskah tersebut:

Dikisahkan hidup seorang janda bernama Calon Arang yang tinggal di Desa Girah. Ia tinggal bersama anak perempuannya yang cantik bernama Ratna Manggali. Calon Arang merupakan seorang yang terkenal sakti dan bengis sehingga tidak ada satu pun pemuda di desa yang berani untuk melamar putrinya ketika dewasa.

Calon Arang yang sakit hati karena tidak ada pemuda yang berani melamar anaknya kemudian melampiaskan kemarahannya dengan cara melakukan ritual kepada Bhatari Durga untuk menurunkan wabah penyakit.

Terkabulnya permohonan Calon Arang menyebabkan banyak warga meninggal. Hampir seluruh penduduk negeri terserang penyakit, sakit satu hingga dua malam, sakit berupa kondisi tubuh panas dingin. Banyak orang yang meninggal dan dikubur secara bergantian. Esok pagi mengubur seorang rekan, sore hari si pengubur meninggal dan kemudian dikuburkan. Mayat-mayat bertumpukan dan bertindihan di kuburan sehingga tidak ada ruang sela di kuburan. Ada mayat yang tergeletak di jalan, ladang, dan ada juga yang membusuk di rumahnya. Banyak anjing memakan mayat, burung gagak ikut berterbangan untuk mencari bangkai disetiap sudut desa. Rumah-rumah di desa menjadi kosong, banyak penduduk yang memilih pergi dan mengungsikan diri ketempat lain karena wabah ini.

Menyadari hal itu, Raja Airlangga kemudian mengirim sejumlah pasukan untuk menyerang Calon Arang. Usaha penyerangan tersebut gagal karena kesaktian Calon Arang yang tak bisa ditandingi. Raja Airlangga kemudian meminta pertolongan kepada seorang pertapa bernama Empu Bharadah yang tinggal di Lemahtulis. Sang Petapa kemudian mengutus muridnya yang bernama Bahula untuk menikahi putri Calon Arang yaitu Ratna Manggali. Bahula yang diterima menjadi suami Ratna Manggali kemudian mengetahui bahwa Calon Arang selalu membaca sebuah kitab dan melakukan ritual di kuburan.

Bahula kemudian mengambil dan menyerahkan kitab yang dibaca olezh Calon Arang kepada Empu Bharadah. Singkat cerita, Empu Bharadah kemudian menyuruh Bahula kembali ke Girah dan ia pun kemudian menyusulnya. Ia kemudian melawan Calon Arang dan berhasil menghentikan kutukan Calon Arang kepada seluruh penduduk.

Cerita Calon Arang menjadi petunjuk dalam Sejarah Kuno di Indonesia tentang terjadinya wabah penyakit yang menelan banyak korban. Kisah ini menjadi legenda yang berkembang di Jawa Timur dan Bali. Bahkan sampai seorang Sardono pun, penari Jawa modern, pernah membuat pentas tentang Calon Arang dengan judul Janda dari Girah.

Memasuki masa Islam-Kolonial sumber sejarah ditulis semakin lengkap dan rinci. Tidak hanya terbatas sumber lokal saja, catatan orang asing juga mulai banyak yang mengisahkan kondisi sosial di Nusantara. Kejadian wabah penyakit pun tak luput ditulis oleh para penjelajah dalam catatan perjalanannya. Kisah tersebut kemudian diringkas kembali oleh para sejarawan yang membahas mengenai kejadian wabah penyakit di Asia Tenggara. Anthony Reid merupakan salah satu sejarawan yang membahas mengenai kejadian wabah penyakit di Asia Tenggara. Dalam bukunya yang berjudul “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680”, ia menjelaskan hubungan antar wilayah yang tercipta melalui jaringan maritim dan perdagangan tidak menutup kemungkinan menjadi media penyebaran berbagai penyakit. Meskipun demikian, perbedaan iklim, pola permukiman yang lebih menyebar, dan kebiasaan mandi menjadi faktor yang membatasi daya sebar wabah penyakit di Nusantara.

Dalam buku yang ditulis oleh Anthony Reid menyebutkan bahwa sumber sejarah dari Portugis dan Spanyol menyebutkan bahwa penyakit cacar menjadi penyakit paling menakutkan di Asia Tenggara karena banyak menelan korban jiwa. Wabah penyakit ini juga terjadi di Indonesia pada tahun 1558 yang melanda wilayah Maluku. Beberapa wabah penyakit yang pernah melanda Indonesia diantaranya;

  • Tahun 1622-1623 terjadi wabah besar berupa “penyakit dada” yang mematikan dan membunuh 1/3 penduduk Banten serta 2/3 penduduk Jawa Tengah;
  • Tahun 1636 terjadi serangan epidemi di Makassar yang berlangsung selama 40 hari dan merenggut 60.000 jiwa;
  • Tahun 1643-1644 terjadi wabah penyakit di Jawa disebutkan beratus-ratus mati setiap hari;
  • Tahun 1657 terjadi wabah di Maluku berupa epidemi demam gila dan keras; dan
  • 1665-terjadi wabah penyakit di Sumatra, Jawa, Bali, dan Makassar disebutkan korban terbesar di Jawa dan Makassar.

Pada tahun 1625-1630 terjadi wabah penyakit yang cukup besar di Indonesia. De Graaf menyebutkan bahwa pada tahun 1626 terjadi wabah besar yang menewaskan 2/3 penduduk Jawa Tengah. Wabah penyakit ini diperparah dengan terjadi perang saudara yang semakin menelan banyak korban. Dampak dari kedua kejadian tersebut adalah aktivitas pertanian dan perekonomian mengalami kemunduran yang cukup signifikan. De Graaf pun menyatakan bahwa wabah yang menyerang masyarakat adalah penyakit paru-paru (sekarang dikenal dengan TBC) yang membuat seseorang dapat meninggal dalam hitungan jam. Anthony Reid pun menyatakan hal yang sama bahwa wabah radang paru-paru menjadi penyakit yang paling menular dan mematikan di Pulau Jawa pada tahun 1625-1626. Selain itu, Claude Guillot menyebutkan wabah penyakit yang terjadi di Banten pada tahun 1625 adalah penyakit pes yang merenggut 1/3 jumlah penduduknya.

 

Kearifan Lokal Masyarakat dalam Menjaga Kesehatan dan Menyikapi Penyakit

Hubungan leluhur masyarakat Nusantara dengan lingkungan yang cukup intensif pada masa lalu menyebabkan munculnya kearifan lokal untuk mencegah dan mengobati penyakit. Salah satu wujud kearifan lokal masyarakat dalam upaya mencegah penyakit, menjaga kesehatan tubuh, dan menjaga kebersihan lingkungan dijumpai dalam tata arsitektur rumah tradisional.

Wilayah Indonesia yang memiliki kondisi iklim yang berbeda menyebabkan bentuk dan tata arsitektur rumah tradisional yang berbeda pula disesuaikan dengan iklim dan lingkungannya. Meskipun nampak berbeda, hal yang cukup menarik adalah beberapa rumah tradisional mensyaratkan keberadaan unsur air yang ditempatkan di depan, tengah, atau belakang rumah. Kehadiran unsur air dalam tata arsitektur rumah tradisional berhubungan dengan nilai sakral sebagai sarana untuk melakukan ritual dan nilai profan yaitu air sebagai kebutuhan utama manusia.

Beberapa contoh rumah tradisional di Indonesia yang mensyaratkan keberadaan air di depan rumah dalam tatanan arsitekturnya adalah Rumah Adat Krong Bande Aceh. Rumah Adat Krong Bande berbentuk panggung dengan tinggi dari permukaan tanah 2,5 – 3 meter. Pada bagian depan rumah terdapat tangga masuk utama dan di samping tangga tersebut terdapat gentong berisi air. Gentong tersebut dapat digunakan untuk mencuci tangan dan kaki para tamu sebelum berkunjung. Penempatan gentong ini juga memiliki nilai filosofis yaitu tamu yang datang hendaknya memiliki niat baik terhadap pemilik rumah.

Rumah adat di Sumatra Selatan juga memiliki pola yang hampir mirip dengan rumah adat Aceh. Rumah adat di Sumatra Selatan berbentuk panggung dilengkapi dengan tangga masuk pada bagian depan. Di samping tangga masuk selalu disediakan tempat air untuk mencuci kaki berbentuk tempayan atau gentong. Begitu pula dengan rumah tradisional dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Rumah tradisional Sumbawa juga berbentuk panggung dengan dua tangga sebagai pintu masuk yang disebut dengan anar salaki dan anar sawai. Setiap tangga masuk disediakan bong (gentong) berisi air yang dapat digunakan oleh tamu untuk mencuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah. Hal yang serupa juga terdapat pada rumah tradisional Suku Kajang, Sulawesi Selatan, dan hampir sebagian besar rumah tradisional di Jawa.

Upaya pencegahan penyakit nampaknya telah diwujudkan oleh leluhur masyarakat Nusantara dengan melakukan hal yang sederhana yaitu selalu mencuci kaki dan tangan sebelum memasuki rumah. Kebiasaan tersebut kemudian diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk dan tatanan arsitektur rumah tradisional.

Upaya pengobatan penyakit pun juga dilakukan oleh masyarakat pada masa lalu. Sejak masa Hindu-Buddha masyarakat telah mengenal pengobatan yang dibuktikan dengan adanya profesi tabib yang disebut dengan istilah “walyan” dan tukang obat “tuha nambi” dalam prasasti Bealawi (1305), Prasasti Sidoteka (1323) yang menyebutkan wli tamba atau orang yang berprofesi mengobati penyakit, Prasasti Bendosari (1360) menyebutkan tabib desa yang disebut dengan istilah janggan, dan prasasti Madhawapura istilah “acaraki” yang berarti penjual jamu menjadi petunjuk adanya pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat.

Bukti pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat pada masa Hindu-Buddha juga diperkuat dengan temuan artefak berupa pipisan dan gandik. Pipisan adalah batu landasan dan gandik adalah batu penggiling. Keduanya merupakan artefak yang ditemukan dalam satu konteks dan berfungsi untuk menghaluskan atau melumatkan biji, rempah, dan dedaunan yang kemudian menjadi jamu.

Tradisi meminum jamu sebagai obat tersebut berlanjut secara turun temurun dan resep serta racikannya dituliskan dalam beberapa naskah kuno. Contoh naskah yang menyebutkan tentang jamu adalah Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814, Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I serta Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II yang ditulis pada masa Sultan Hamengkubuwono II dan dipublikasikan pada abad 18. Naskah-naskah tersebut menyebutkan penggunaan tumbuhan obat untuk menjaga kesehatan, mencegah penyakit, mengurangi rasa sakit, dan mempercantik diri. Terdapat berbagai jenis jamu yang digunakan dengan cara bobok, loloh, oser, pupuh, pupuk, rambang, untiil, dan diminum.

 

Belajar dari Masa Lalu

Wabah penyakit baik yang bersifat epidemik maupun pandemik menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Dalam catatan sejarah, banyak korban jiwa yang berjatuhan karena wabah penyakit pes, kolera, dan penyakit radang paru-paru yang menular. Pandemik yang berkembang di 2020 ini adalah Covid-19 atau virus corona yang penyebarannya melalui tetesan kecil air liur yang keluar dari hidung atau mulut ketika orang yang telah terinfeksi virus corona bersin atau batuk. Tetesan tersebut kemudian mendarat pada permukaan benda dan apabila permukaan tersebut disentuh oleh orang yang sehat kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulutnya akan tertular virus berbahaya yang menyerang saluran pernafasan. Tinggal di rumah dan menjaga kebersihan dengan cara mencuci tangan dengan sabun menjadi cara untuk mencegah tertularnya virus ini.

Kearifan lokal masyarakat Nusantara pada masa lalu dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat masa kini. Penempatan gentong air di depan rumah menjadi poin penting yang harus diperhatikan karena air mampu membersihkan tubuh dari bakteri dan virus yang menempel selama berkegiatan di luar ruangan. Ada juga gentong air yang diletakkan ditepi jalan untuk memberi minum kepada yang lewat apabila kehausan. Keberadaan wastafel dan hand sanitizer untuk mencuci tangan yang ditempatkan didepan kantor-kantor  pada masa sekarang, dapat disejajarkan dengan keberadaan gentong atau tempayan tempat air di depan rumah atau di bawah tangga pada rumah tradisional di masa lalu. Leluhur kita telah menyadari betapa pentingnya mencegah penyakit dan menjaga kesehatan tubuh dengan cara mencuci tangan sebelum memasuki rumah dan meminum jamu untuk memperkuat kekebalan tubuh.

Penulis: Harriyadi

Editor: Titi Surti Nastiti dan Libra Hari Inagurasi

 

 

Sumber Pustaka

Alimansyur Moh. et al. 1985. Arsitektur Tradisional daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Brandes, J.L.A. 1913. Oud Javaansche Oorkonden, Nagelaten Transscripties van Wijlen Dr. J.L.A. Brandes, Uitgegeven Door Dr. N.J. Krom. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap LX.

Christie, Jan Wisseman. 1999. “Register of The Inscription of Java 732 – 1060 A.D”. Tidak terbit.

Guillot, Claude. 2008. Banten. Sejarah dan peradaban abad X-XVII. Terjemahan oleh Hendra Setiawan, et al. Second Edition. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

de Casparis, J.G. 1956. Prasasti Indonesia. Vol. I. Bandung: Djawatan Purbakala Bandung Republik Indonesia.

Direktorat Tradisi dan Kepercayaan. 2002. Arsitektur Tradisional. Jakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Badan Pengembangan Kebudayaan dan pariwisata.

Hasbi, Rahil Muhammad. 2017. Kajian Kearifan Lokal pada Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh, Jurnal Arsitektur, Bangunan, dan Lingkungan 7(1): 1-16.

Lewa, Erni Erawati. 2018. Arsitektur Rumah Tradisional Suku Kajang di Provinsi Sulawesi Selatan, Mozaik Humaniora 18(1): 80-92

Mulyani, Hesti et al. 2016. Pengobatan Tradisional Jawa Terhadap Penyakit Bengkak dalam Manuskrip Srat Primbon Jampi Jawi Jilid I dan Serat Priombon Racikan Jambi Jawi Jilid II Koleksi Surakarta. dalam Prosiding Seminar Nasional “Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia”. Hal: 715-722

Poerbatjaraka, R.M. Ng. 1975. Calon Arang si Janda dari Girah. Terjemahan oleh Soewito Santoso. Jakarta: Balai Pustaka.

Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid I. Jakarta: Obor.

Sarkar, H. B. 1971. Corpus of the Inscription of Java (Corpus Inscriptionum Javanicarum) up to 928 A.D. Vol. 1. Calcutta: Firma K. L. Mukhopadhyay.

 

Website

Putri, Risa Herdahita. Tanpa tahun. Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno dalam https://historia.id/kuno/articles/mengobati-penyakit-pada-zaman-kuno-DEnea dikutip pada 8 April 2020.

---------------------------. Tanpa tahun. Calon Arang Memuja Durga Sang Penguasa Penyakit dalam https://historia.id/kuno/articles/calon-arang-memuja-durga-sang-penguasa-penyakit-PdlA1 dikutip pada 8 April 2020.

Tim Redaksi CNBC. 2020. Ingat! Begini Cara Penyebaran Virus Corona Versi WHO dalam https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200406085228-37-149920/ingat-begini-cara-penyebaran-virus-corona-versi-who diakses pada 8 April 2020.

 



Baca Lainnya


Berita Arkenas

Publikasi Penelitian
Penelitian Lainnya research

Arkeologi Natuna: Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Pulau Terdepan Nusantara

Monday 07 / AW

Latar Belakang Natuna adalah gugusan Kepulauan Nusantara di Samudra Natuna Utara (Cina Selatan) yang  memiliki posisi penting sebagai kawasan perbatasan NKRI.   Pada saat ini pemerintah sedang membangun dan  memperkuat wilayah…

Baca Selengkapnya...


Kategori Terbitan

Aspek
device it's being served on. Flexible grids then size
1 Tulisan
Amerta
device it's being served on. Flexible grids then size.
20 Tulisan
BPA
device it's being served on. Flexible grids then size.
300 Tulisan
Kalpataru
device it's being served on. Flexible grids then size.
1325 Tulisan
Monografi
device it's being served on. Flexible grids then size.
2000 Tulisan