Pada awal pengembangannya, ilmu arkeologi maritim lebih difokuskan pada tema penelitian yang didefinisikan oleh Keith Muckleroy. Perhatian utama peneliti arkeologi Maritim menurut Muckleroy hanya melakukan penelitian pada objek perahu dan kapal tenggelam,. Situs lain seperti lingkungan purba yang tenggelam dan pelabuhan tidak termasuk dalam kajian arkeologi maritim. Definisi ini mendapatkan sanggahan dari berbagai macam arkeolog, salah satunya adalah Sean McGrail yang menilai ruang lingkup tersebut terlalu sempit.
Dalam Jangka waktu 2 dekade terakhir terjadi banyak perubahan yang signifikan dari ruang lingkup penelitian arkeologi maritim, dari hanya meneliti situs kapal karam saja menjadi lebih luas hingga pada konteks kemaritiman itu sendiri. Pengenalan tentang konsep lansekap dari kebudayaan maritim diawali oleh Christer Westerdahl, membawa perhatian lebih lanjut mengenai teknologi transportasi air, jaringan industri, dan pemukiman pesisir, pelabuhan dan dermaga, pelayaran dan masyarakat pelautnya, ritual dan semua yang terkait oleh aktivitas dan interaksi manusia dengan air.
Dengan semakin luasnya kesadaran akan masa lalu di laut, dan perubahan iklim, proses pembentukan pantai, dan studi tentang lansekap yang tenggelam dalam kajian arkeologi maritim memperoleh momentum. Pembangunan bendungan dan pengalihan aliran sungai dan danau dapat membuat daerah yang dulunya mungkin sebuah kota, pemukiman, makam, dan infrastuktur lainnya terbanjiri dan tenggelam. Perubahan permukaan air laut dan erosi juga turut mempengaruhi terbentuknya situs arkeologi maritim.
Pesisir laut, danau, dan sungai selalu memiliki peran dan pengaruh bagi manusia untuk ditinggali dan membentuk komunitas karena lingkungan tersebut menawarkan kesempatan untuk mendapatkan suplai makanan, menjelajah, berkomunikasi dengan komunitas lain, dan bahkan berdagang. Lingkungan sungai, danau dan lahan basah telah menjadi lokasi tempat tinggal manusia yang paling popular. Dari penelitian arkeologi yang dilakukan banyak artefak yang ditemukan pada lingkungan tersebut, baik di sepanjang garis pantai maupun lingkungan rawa yang berlumpur pada lahan basah.
Data arkeologi maritim tidak dibatasi oleh periodisasi dan juga tidak selalu dilakukan pada lingkungan laut, objek penelitiannya luas dari masa Prasejarah hingga masa kolonial, bahkan masa sekarang.
Pada saat ini banyak arkeolog maritim yang bekerja pada lingkungan di bawah ini:
a. Situs Arkeologi Bawah Air
Lingkungan kerja dari Arkeologi Bawah Air adalah di laut, sungai, danau, dan daerah perairan lainnya, selama objek atau data arkeologi tersebut terendam oleh air. Objek Arkeologi Bawah Air antara lain seperti kapal dan perahu yang karam, kota tenggelam, dan lingkungan prasejarah yang tenggelam.
Penelitian rkeologi Bawah Air memiliki prinsip yang sama dengan arkeologi yang di lakukan di darat, namun kajian, peralatan dan metode yang digunakan cukup berbeda. Perekaman data dalam penelitian bawah air dapat menggunakan peralatan hidrografi survei seperti side scan sonar, multibeam, dan magnetometer untuk merekam objek, kontur, dan lingkungan situs. Selain itu juga dilakukan pengukuran dengan menerjunkan penyelam arkeologi yang menggunakan peralatan selam standar internasional.
Data arkeologi yang didapatkan dari situs rkeologi Bawah Air kerap sekali mengejutkan karena banyak data dari bawah air yang kadang tidak ditemukan di darat. Implikasi lingkungan bawah air juga berdampak cukup baik pada objek arkeologi yang berada di dalamnya, hasil riset menunjukkan kondisi temuan Arkeologi Bawah Air lebih baik jika dibandingkan dengan temuan yang berada di darat. Oleh karena itu, situs Arkeologi Bawah Air sering disebut dengan ungkapan “time capsule” karena begitu objek arkeologi tersebut terendam oleh air maka keadaannya akan sama seperti pada waktu pertama kali tenggelam walaupun sudah bertahun-tahun.
b. Pesisir Pantai
Pesisir pantai merupakan tempat pendaratan pertama bagi para penjelajah laut pada saat tiba di suatu pulau. Lingkungan ini juga merupakan tempat arkeolog maritim bekerja, di lingkungan pesisir banyak ditemukan tinggalan pemukiman dan artefak bahkan yang berasal dari masa rasejarah yang kuat hubungannya dengan migrasi manusia. Pemikiran tentang peran pesisir untuk menjelaskan migrasi yang dilakukan oleh manusia bukanlah hal baru lagi. Studi tentang pesisir telah dikembangkan di pada beberapa dekade ini. Objek lain yang dapat diteliti di lingkungan pesisir adalah pelabuhan, menara mercusuar, galangan kapal, pemukiman suku laut dan lain sebagainya.
Praktek arkeologi yang dapat dilakukan di daerah pesisir, misalnya survei, ekskavasi, dan geoarkeologi. Selain itu juga studi etnografi dapat dilakukan di lingkungan pesisir untuk mempelajari komunitas manusia yang masih memegang erat tradisi bahari.
c. Situs Arkeologi di Sungai
Pada awal berkembangnya ilmu arkeologi di awal abad ke-19 hingga munculnya arkeologi bawah air di awal tahun 1950-an, arkeolog maritim hanya terpusat perhatiannya pada situs arkeologi di laut (marine archaeology). Keberadaan cagar budaya yang berada di dasar sungai tentu sudah banyak diketahui namun jarang yang ditindaklanjuti. Secara lingkungan fisik, sungai sangatlah berbeda dengan laut, kondisinya dangkal, memiliki jarak pandang yang rendah dan arus yang kuat, hal ini kadang menyulitkan para arkeolog untuk bekerja di lingkungan sungai.
Penelitian rkeologi Bawah Air di sungai dimulai di sungai-sungai di Perancis oleh Louis Bonnamour pada awal tahun 1960-an. Dia memulai penelitian di Sungai Saône dan terus mengembangkan penelitiannya ke sungai-sungai lain di Perancis seperti Sungai Rhône, Charente and Seine. Hal ini terus dikembangkan hingga sekitar tahun 1990-an. Penelitian di lingkungan sungai juga berkembang di Indonesia, penelitian di Sungai Lasem, Sungai Bengawan Solo, Sungai Baksoka, dan Sungai Musi telah lama dilakukan oleh arkeolog kita dan dikaji secara komprehensif.
Penelitian di lingkungan sungai menghasilkan banyak temuan yang luar biasa, artefak dari masa rasejarah hingga masa modern. Temuan seperti kerangka manusia, fosil, sisa pemukiman, infrastruktur sungai, perahu, peralatan tenaga air (PLTA) kuno, dan sebagainya. Temuan luar biasa bagi ilmu pengetahuan dari situs sungai salah satunya adalah tengkorak Homo Erectus di Situs Trinil, di pinggiran Sungai Bengawan Solo yang sekarang situs tersebut telah terendam oleh air sungai.
Terapan dari kajian arkeologi di lingkungan sungai, kerap membantu dalam hal pemetaan aliran sungai purba, pembuatan bendungan, dan pembangunan infrastruur seperti jalan dan jembatan.
d. Situs Arkeologi di Danau
Pemukiman Prasejarah di lingkungan danau telah ditemukan di banyak negara seperti Swiss, Austria, Jerman, Prancis, Itali, Slovenia, dan Indonesia. Pemukiman tersebut ditemukan baik di dasar danau maupun di pesisir danau. Rendahnya pergerakan air dan lingkungan yang didominasi oleh pasir dan lumpur membuat data arkeologi di lingkungan danau terpreservasi dengan baik.
Penelitian di Indonesia baru-baru ini dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Danau ini berada di ketinggian sekitar 300 meter dari permukaan air laut. Tim penelitian berhasil menemukan data arkeologi baik di dasar danau maupun di lingkungan sekitar danau. Temuan tersebut seperti alat batu, artefak logam, makam, tembikar, dan juga keramik.
Penelitian arkeologi bawah air di Indonesia masih sangat jarang dilakukan, penelitian di dasar Danau Matano merupakan salah satu yang pertama dilakukan oleh arkeologi Indonesia. Penelitian Arkeologi Bawah Air di danau bukanlah hal yang mudah dan cenderung berbahaya jika tidak mengikuti prosedur. Penyelaman di danau berbeda dengan penyelaman di laut, terutama pada danau yang berada di ketinggian lebih dari 100 Mdpl. Diperlukan pelatihan khusus dan pemahaman prosedur lebih dalam tentang penyelaman di danau. Selain itu lingkungan bawah air danau merupakan sebuah tantangan tersendiri, air yang cenderung dingin, arus yang kuat, kontur danau yang tidak beraturan, dan tanaman danau juga kadang berbahaya bagi para penyelam.
e. Situs Arkeologi di Lahan Basah
Lingkungan lahan basah merupakan habitat dengan bio-diversitas yang tinggi, lingkungan yang dipenuhi dengan air tawar dan air laut tersebut mengubah lingkungan ini menjadi subur dan ditumbuhi berbagai macam tanaman. Pembentukan lahan basah diiringi dengan saturasi habitat darat. Pada saat masa glasial berakhir di masa akhir zaman es dan menyebabkan pendangkalan, dan sisa pendangkalan tersebut membentuk kolam-kolam di lahan basah yang dikelilingi oleh daratan. Lingkungan lahan basah juga terbentuk oleh aliran air sungai, perubahan permukaan air laut, dan hujan lebat terus menerus yang membasahi lahan. Beberapa tipe lahan basah yaitu, lahan basah pasang surut (tidal wetland), lingkungan rawa berair payau, inland freshwater wetlands, dan kolam.
Lahan basah menawarkan banyak peluang untuk mendapatkan sumber daya alam, perdagangan, dan transportasi. Masyarakat sering mendirikan rumah panggung dan menyusun struktur batu sebagai jalan agar dapat beraktivitas di lahan basah. Temuan arkeologi yang ditemukan pada lahan basah dapat menjelaskan kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya pada masa lalu.
Penelitian lahan basah di Indonesia telah berkembang salah satunya di Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan. Pada situs tesebut dapat direkonstruksi kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat yang tinggal di lahan basah tersebut. Selain itu juga dapat dipelajari kehidupan kemaritiman pada daerah tersebut melalui tinggalan budayanya.
Kesimpulannya adalah bahwa arkeologi maritim bekerja di berbagai macam lingkungan perairan yang dapat menjelaskan interaksi antara manusia dengan lingkungan air, pada kronologi waktu yang berbeda-beda. Dua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, yaitu air dengan manusia, kebutuhan utama manusia untuk bertahan hidup adalah air dan di lingkungan air, manusia dapat mendapatkan makanan untuk bertahan hidup dan juga bermukim.
(Shinatria Adhityatama)
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN SITUS ARKEOLOGI Oleh : Bambang Sulistyanto Pusat Arkeologi Nasional Abstrak Upaya pengelolaan warisan budaya di situs arkeologi pada masa sekarang, harus memperhatikan makna sosial (social…