Tradisi yang berkembang di dalam persepsi masyarakat di wilayah Maluku Utara, pemerintahan lokal yang dikenal dengan sebutan Maluku Kieraha yang terdiri persekutuan 4 saudara yaitu: Bacan, Ternate, Tidore dan Jailolo. Banyak versi yang berkembang, tetapi persamaannya pada mulanya semuanya berawal di Pulau Makian, kemudian menyebar ke berbagai pulau. Kapan kerajaan-kerajaan ini mengawali pemerintahan dan sebagai persekutuan tidak begitu jelas. Sejarah kerajaan Jailolo lebih tidak banyak diketahui, dibandingkan kerajaan lain, seperti Ternate, Tidore, dan Bacan. Kerajaan Jailolo menempati wilayah bagian pantai barat Halmahera Utara, sekitar kota Jailolo sekarang.
Cengkeh dan Persaingan Dagang
Kontak bangsa Barat di Maluku Utara pada awal abad ke-16, terjadi ketika pendatang Spanyol dan Portugis, datang mencari sumber rempah. Dengan kapal Victoria dan Trininad, Spanyol untuk pertama kalinya menuju ke Maluku, dilanjutkan Pigafeta yang mendarat di Tidore, Jumat 8 November 1521. Pigafeta mencatat tentang kekuasaan di Gilolo tentang adanya seorang raja yang masih kafir dan memiliki banyak emas. Dicatat juga adanya orang Moor, identitas bangsa dari Timur Tengah yang berkonotasi Islam, sudah ada 50 tahun sebelum mereka datang.
Sepanjang sejarahnya tergambar proses aliansi Jailolo dalam bentuk integrasi dan disintegrasi. Persaingan antar kerajaan atau kolano karena wilayah ini semakin penting sebagai sumber rempah-rempah, terutama cengkeh. Pada tahun 1551, Ternate dengan aliansinya Portugis merebut kekuasaan Jailolo, sejak itu kesultanan Jailolo diturunkan statusnya pada tingkat sangaji dibawah kendali Ternate.
Belanda adalah bangsa Eropa yang cukup terlambat sampai di Kepulauan Maluku. Faktanya di Halmahera Barat terdapat beberapa situs benteng milik Belanda, seperti Benteng Sindangoli, Benteng Dodinga dan hanya satu benteng milik Spanyol. Salah satu benteng yang mungkin Portugis pernah berperan dalam pembangunan adalah Benteng Gamlamo. Benteng Saboga di tepi sungai Akelamo dibangun oleh Spanyol pada tahun 1548. Penguasaan Belanda di Jailolo terbukti dengan adanya tugu yang bertuliskan VOC. Belanda akhirnya berhasil mendominasi perdagangan rempah cengkeh, pala, kopra. Pesaing berikutnya adalah Inggris dengan IEC sebagai organisasi dagangnya.
Sagu dan padi: sumber pangan yang diperebutkan
Jailolo menjadi istimewa karena wilayah tersebut merupakan sumber pangan yang paling besar dan potensial, baik bagi Kerajaan Ternate maupun Kerajaan Tidore. Bahkan dari beberapa sumber historis pasokan pangan dari wilayah ini mencapai Maluku Tengah. Oleh karena itu pula wilayah penghasil sumber pangan sagu dan beras ini selalu menjadi ajang perebutan, selain memperebutkan cengkeh sebagai komoditas dagang untuk ke Eropa.
Tanaman sagu (Metroxylon, sp) merupakan salah satu sumber karbohidrat. Sagu telah beratus tahun secara turun-temurun menjadi bahan makanan pokok masyarakat. Hingga sekarang sagu masih diproduksi sebagai sumber karbohidrat dalam bentuk lempengan atau papeda. Belum diketahui dengan pasti seberapa banyak produksi sagu di seluruh Halmahera waktu itu, bahkan hingga kini. Di Jailolo, hanya Distrik Sahu dan Maba yang bisa memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri dan menyalurkannya ke Keraton Ternate dan Tidore.
Padi, menurut Visser 1989, yang dikutip Leiriza baru dikenal di Halmahera awal abad ke-16. Padi yang ditanam bersifat padi tadah hujan. Pola ini hampir merata dalam jumlah sangat sedikit. Hanya ada beberapa distrik pertanian padi tadah hujannya yang cukup luas, yakni di Maba (wilayah Tidore) dan Sahu (wilayah Ternate). Suatu bencana kekurangan pangan dapat menyebabkan penduduk kelaparan dan meninggal. Sebab itulah pengamanan distrik-distrik penghasil pangan sangat penting. Beras padi, selain digunakan sebagai alat upacara, juga dikonsumsi kalangan keraton dan para pejabat Belanda di Ternate. Untuk Tidore penyediaan beras bagi keraton sebagai upeti saja, tidak sepanjang waktu.
Situasi Terkini Sumber Produksi
Walaupun tidak begitu dikenal adanya perkebunan cengkeh milik kerajaan, wilayah Jailolo masih menghasilkan cengkeh sebagai komoditi utama selain pala dan kopra. Dalam hal produksi pangan, sagu semakin tergeser. Sagu tidak lagi menjadi makanan pokok, tetapi hanya mensubstitusi beras. Perkembangan penanaman padi dan produksi beras di wilayah ini turut mempercepat proses pergeseran nilai sagu. Usaha pengelolaan sagu secara profesional dan besar sudah tidak banyak dilakukan. Bahkan beberapa rawa pantai yang dulunya merupakan lahan tanaman sagu telah diubah menjadi lahan pertanian padi basah. Pendataan keluasan dan potensi tanaman sagu yang tersisa juga masih belum teridentifikasi dengan baik.
Pertanian sesungguhnya merupakan sektor andalan bagi masyarakat di Halmahera Barat. Namun demikian, produksi komoditas pertanian tidak mencukupi kebutuhan masyarakatnya sehingga perlu pasokan dari Sulawesi Selatan, salah satu lumbung padi Indonesia Timur. Daerah yang relatif masih tinggi produksi tanaman pangan yakni Kecamatan Jailolo dan Sahu Timur. Jadi kedua tanaman pangan tersebut tampaknya perlu lebih mendapat perhatian lagi oleh pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaanya, agar dapat memenuhi kebutuhan pangan wilayah setempat. (Sarjiyanto)
LATAR PENELITIAN Penelitian di wilayah Cekungan Soa pertama kali dipelopori oleh , seorang missionaris berkebangsaan Belanda pada sekitar tahun 1960-an. Dalam laporannya ia menginformasikan bahwa di Situs Matamenge, Boa Lesa…