Anda pasti pernah mendengar nama Gunung Padang, yang beberapa tahun belakangan ini telah menyita perhatian publik karena kisah kontroversialnya. Nama Gunung Padang sebenarnya telah diketahui pertama kali oleh RDM Verbeek pada tahun 1891. Berita selanjutnya juga telah dilansir pada tahun 1914 di dalam catatan buku kuno yang berjudul Rapporten Oudheidkundige Dients yang ditulis N.J Krom seorang peneliti dari Belanda. Di dalam buku tersebut diinformasikan keberadaan bangunan berundak yang tertutup oleh hutan dan semak belukar, sayangnya tidak ada rincian yang jelas tentang bentuk bangunan berundak Gunung Padang.
Selang 65 tahun kemudian para petani bernama Endi, Soma, dan Abidin menemukan kembali bangunan ini pada tahun 1979. Berdasarkan penemuan tersebut PUSPAN (sekarang Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) dan Balai Arkeologi Bandung sebagai unit pelaksana teknis yang bertugas dalam bidang penelitian arkeologi mulai melakukan penelitian berturut-turut dari sejak ditemukannya sampai tahun 2005. Hasil sementara menunjukkan bahwa Gunung Padang mengandung konsep megalitik yang mengutamakan sebagai bangunan sakral untuk pemujaan. Hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa Gunung Padang berbentuk punden berundak dengan 5 teras. Setiap terasnya dibangun dalam ukuran yang berbeda dan tersusun atas ribuan batu yang merupakan columnar joint. Bagian teras atas merupakan tempat tersuci dengan sebuah menhir sebagai pusat pemujaannya. Untuk menuju teras-teras punden sudah diatur sedemikian rupa karena sebelum menginjakkan kaki di tangga teras, orang harus mensucikan diri di kolam batu yang terletak di kaki sebelah selatan tangga. Susunan balok-balok batu pada masing-masing bagian bangunan punden memperlihat pola berbeda baik pada susunan tangga naik, dinding teras, maupun bangunan teras. Kemudian pada tahun 1998 Situs Gunung Padang dijadikan sebagai cagar budaya berdasarkan SK Mendikbud no 139 M tahun 1998 tentang penetapan situs wilayah Jawa Barat tanggal 16 Juni 1998 sebagai situs megalitik yang menempati area seluas 3.094,59 meter persegi.
Punden berundak Gunung Padang dibangun di puncak bukit dengan ketinggian 885 m, yang secara administrasi termasuk Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs ini terletak sekitar 50 km sebelah barat daya Cianjur, yaitu sekitar 6?57’ LS- 107?1’ BT.
Tahun 2012 sekelompok peneliti yang mengatasnamakan Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) melakukan penelitian terhadap Gunung Padang. Hasil penelitian mereka kemudian menuai kontroversi. Debat terhadap hasil penelitiannya menjadi semakin ramai sehingga memunculkan dua kubu yang saling berbeda yaitu antara kelompok TTRM dan para peneliti dari Arkeologi Nasional dan beberapa tokoh geologi maupun sejarah. Kelompok TTRM mengklaim bahwa Situs Gunung Padang merupakan hasil multigenerasi berdasarkan pertanggalan karbon. Menurut mereka, bangunan atas dengan menhir merupakan peradaban sederhana, hanya menata ulang reruntuhan batuan yang sudah ada, kemungkinan berumur sekira 500-100 SM.Dinyatakannya pula bahwa beberapa meter di bawahnya, diselingi tanah timbun adalah bangunan yang sangat maju yang dibuat dari susunan batu-batu kolom, tersusun rapi dan diisi atau terbungkus semen. Kemungkinan hal itu berasal dari peradaban dengan umur sekitar 5000 SM dan di bawahnya lagi, masih ada struktur bangunan yang lebih tua berumur 8000 SM. Bahkan pertanggalan yang lebih tua lagi adalah 26.000 SM. Hal ini diperkuat oleh adanya temuan berupa “kujang batu” maupun koin (mata uang perunggu) dari kedalaman 11 meter. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh bukit dengan tinggi 100 meter atau paling tidak sekitar sepertiga dari puncak bukit merupakan situs.
Di satu sisi para pakar arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional maupun arkeolog dari beberapa pihak serta beberapa pakar geologi menyatakan lain. Gunung Padang merupakan situs peninggalan nenek moyang yang dikelompokkan sebagai budaya megalitik yang didirikan di atas bukit dengan menggunakan batu-batu yang ada di sekitarnya. Bukit ini dahulunya merupakan gunung api purba yang menghasilkan batu-batu di dalam perut bukit yang kemudian merekah membentuk tiang-tiang (columnar joint). Bebatuan inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan bangunan punden berundak. Pernyataan adanya bangunan lebih maju berupa ruang terpendam di bawah punden berundak dengan umur yang cukup tua yaitu 5000 SM, 8000 SM bahkan 26000 SM cukup mencengangkan dan tidak masuk akal. Para pakar geologi senior menyangsikan adanya ruang-ruang buatan manusia di perut bumi. Mereka menyatakan bahwa tumpukan columnar joint yang ada di perut bukit hasil penggalian merupakan proses geologi sehingga membentuk ruang-ruang atau susunan alamiah bukan buatan manusia. Timbul pertanyaan dari aspek ilmu arkeologi terkait hasil penelitian Tim TTRM yaitu: pertama, Gunung Padang sebagai sebuah peradaban yang tinggi dengan bangunan sederhana di bagian atasnya dengan umur yang lebih muda serta bangunan dengan peradaban yang sangat maju di bagian bawahnya berupa ruang-ruang di perut bukit mencerminkan perkembangan budaya yang normal?; kedua, Bernarkan Gunung Padang dapat dikatagorikan sebagai sebuah peradaban yang tinggi dengan umur yang cukup tua (5000 SM-26.000 SM): ketiga, Benarkah kehadiran temuan-temuan artefak yang dinyatakan sebagai pendukung budaya yang cukup tua?
Pertanyaan pertama terkait dengan perkembangan sebuah budaya. Secara umum dalam suatu ruang budaya yang sederhana (primitif) akan mendahului budaya yang lebih maju. Budaya yang sederhana akan berumur lebih tua dibandingkan dengan budaya yang lebih muda. Pernyataan pertama tentang Gunung Padang perlu dikaji ulang karena tidak berlaku untuk Gunung Padang. Di sini terdapat sebuah kebudayaan yang sederhana dengan umur yang lebih muda berdiri di atas sebuah bangunan yang dinyatakan sebagai sebuah peradaban yang sangat maju dengan umur yang sangat tua. Gunung Padang dapat dikatakan sebagai bangunan multigenerasi kalau terkait dengan bangunan punden perundak di atas permukaan bukit, karena hasil penelitian telah menunjukkan bukti-bukti bahwa situs tersebut digunakan sebagai kegiatan ritual sejak awal sampai sekarang.
Pertanyaan kedua terkait dengan perkembangan sejarah Indonesia. Kehadiran Gunung Padang yang diklaim berumur antara 500-100 SM, 5000 SM, 8000 SM bahkan sampai 26000 SM di bagian bawahnya dengan peradaban yang sudah maju (tinggi) perlu menjadi bahan pertimbangan. Pertanggalan karbon dapat menjadi penentu umur, namun ada hal-hal tertentu yang menjadi pertimbangan. Seringkali terjadi di dalam penelitian hasil pertanggalan karbon tidak sesuai dengan umur situs. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya cara pengambilan sampel. Cara mengantisipasinya adalah melalui pengecekan silang atau dengan perbandingan. Agak sulit untuk menerima hasil pertanggalan Gunung Padang terutama yang umur tua. Apabila umur Gunung Padang yang paling tua (26.000 SM) ditempatkan pada penzamanan sejarah Indonesia maka Gunung Padang merupakan budaya yang berkembang pada zaman paleolitik dimana pada waktu itu masyarakat masih hidup tidak menetap di gua, ceruk, maupun tempat terbuka dengan teknologi sangat sederhana menggunakan alat batu berupa kapak perimbas-penetak atau batu inti. Apabila ditempatkan 8000-5000 SM pun demikian, mereka masih di gua-gua dan ceruk dengan masyarakat berciri australomelanesid yang pada waktu itu belum mengenal megalitik. Budaya megalitik dikembangkan oleh masyarakat yang dicirikan oleh penutur Austronesia (yang melakukan migrasi ke Indonesia dan kemudian bertemu dengan penduduk yang terlebih dahulu ada yaitu ras Austramelanisid) sekitar 4000 tahun silam (2000 SM).
Pertanyaan ketiga dilontarkan terkait dengan kehadiran temuan artefak terkait dengan punden berundak seperti rolling stone, batu kujang (istilah TTRM), koin logam. Rolling stone atau lebih dikenal dengan bolas sangat dikenal dalam ilmu arkeologi, sering ditemukan pada situs-situs paleolitik maupun megalitik. Bolas ini merupakan bentukan alam karena pembundaran karena proses tranportasi ke tiga di sungai. Pada masa paleolitik, batuan ini selalu ditemukan bersama-sama dengan sisa-sisa hewan. Tidak demikian dengan bolas yang ada di situs-situs megalitik, selalu terkait dengan altar-altar untuk pemujaan. Keberadaan koin perunggu yang diklaim dari 5200 M perlu dipertanyakan, mengingat kebudayaan logam khususnya perunggu di Indonesia baru muncul 500 SM yang dibawa dari Vietnam. Umumnya dalam bentuk seperti nekara, kapak perunggu, gelang perunggu atau bentuk-bentuk yang berkembang pada saat itu bukan bentuk koin yang ditemukan saat ini.
Statemen-statemen hasil penelitian tim terpadu tersebut tentu perlu dikaji ulang melalui penelitian yang lebih tepat dengan pendekatan-pendekatan arkeologi melalui analisis yang tajam sehingga dapat menghasilkan interpretasi yang lebih tepat. (Bagyo Prasetyo)
LATAR PENELITIAN Penelitian di wilayah Cekungan Soa pertama kali dipelopori oleh , seorang missionaris berkebangsaan Belanda pada sekitar tahun 1960-an. Dalam laporannya ia menginformasikan bahwa di Situs Matamenge, Boa Lesa…