Dalam dasa warsa terakhir ini, tuntutan masyarakat untuk ikut memanfaatkan sumber daya arkeologi semakin besar. Fakta ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya lembaga atau badan non-pemerintah yang peduli terhadap kelestarian sumber daya arkeologi dan pemanfaatannya untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks itulah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian masalah arkeologi publik, dengan mengambil tema Pengelolaan Sumber daya Arkeologi (Archaeological Resource Management) dengan judul penelitian “RESOLUSI KONFLIK WARISAN BUDAYA KAB. MAROS DAN PANGKEP, SULAWESI SELATAN”. Penelitian di atas terlaksana pada tahun 2016 yang lalu, dan dipimpin langsung oleh Prof. Ris Bambang Sulistyanto dengan kerjasama Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin.
Kemasyuran wilayah Maros-Pangkep bergema dan terekam dalam berbagai kitab bangsa seberang dan diakui sebagai kawasaan kars yang mampu menarik perhatian para ahli dunia untuk meneliti. Sulawesi merupakan pulau terbesar ke tujuh di dunia dan yang terbesar dan kemungkinan tertua di Wallacea, zona pulau-pulau oceanic antara benua Asia dan Ausralia. Pada masa HoIosen ke Miosen tengah, bukit kapur Maros dan Pangkep berada pada 4°7’LS dan 5°1’LS yang meliputi ±450 km2 sejajar dengan garis pantai barat bagian barat daya semenanjung pulau. Aliran sungai vulkanik ke arah timur yang hingga ke dasar bukit kapur, membentuk klaster-klaster pada dataran tinggi seperti tower karst yang muncul dari daratan alluvial. Gua-gua yang terbentuk di sekitar tower memiliki banyak bukti tinggalan manusia prasejarah. Kumpulan Breccia pada bagian belakang dinding di beberapa gua dan ceruk mengandung tinggalan arkeologi yang terdeposit, dan setidaknya terdapat 90 situs yang memiliki lukisan dinding. Sementara itu, sejumlah situs gua dan ceruk telah diekskavasi sejak tahun 1930an hanya dua yang termasuk dalam rangkain pleistosen, Leang Burung 2 dan Leang Sakapao 1, yang sejauh ini dilaporkan. Yang tertua, Leang Burung, sebuah ceruk pada kaki bukit dengan usia minimum berdasarkan temuan ekskavasi diperoleh pertanggalan radiocarbon pada kisaran 31.260 ± 320 tahun BP atau pertanggalan sebelumnya diketahui 35,248 ± 420 tahun kalender BP terhadap penghuniam manusia purba di Sulawesi. Deposit sejak zaman Plestosen dari kedua situs tersebut memberikan bukti terhadap penggunaan pigmen dalam bentuk faceted haematite nodules dan alat batu ochre-smeared.
Fenomena ancaman kelestarian yang terjadi pada situs gua-gua prasejarah di Kawasan Karst Maros-Pangkep yang memiliki luas sekitar 43.750 ha (BPPP Makassar, 2011:5), kondisinya saat ini mulai mengalami kerusakan. Kerusakan itu antara lain degradasi lingkungan yang kemudian berdampak pada degradasi kelestarian situs gua prasejarah. Salah satu yang dianggap sebagai faktor pemicu degradasi lingkungan dan temuan situs arkeologis di dalamnya adalah maraknya pembukaan lahan tambang di kawasan ini sejak tahun 1960-an, dimulai oleh PT. Semen Tonasa yang melakukan penambangan tanah liat dan batu kapur untuk bahan baku produksi semen di wilayah Minasate’ne Kab. Pangkep (Tonasa I) PT. Semen Tonasa kemudian terus gencar melakukan ekspansi lahan konsesi, pembangunan pabrik dan infrastruktur pendukung usaha pertambangannya, hingga mampu menghasilkan produksi semen per tahun sebesar 5.980.000 ton.
Seni Purba Kala Plestosen
Namun, dunia dikejutkan atas temuan penelitian arkeologi prasejarah yang berlangsung di Maros-Sulawesi Selatan pada tahun 2015 yang lalu. Penelitian atas kerjasama antara peneliti Indonesia dengan Australia itu, berhasil memunculkan bukti pertanggalan terbaru yang melampaui perkiraan sebelumnya. Sampel gambar yang diteliti terdiri dari 12 lukisan cap tangan dan dua figure binatang yang diambil dari tujuh situs gua, lalu di uji secara seksama melalui analisis pertanggalan dengan menggunakan metode uranium-series dating pada collaroid speleothems. Hasil dari analisis pertanggalan itu, menemukan usia minimum 39,9 ribu tahun yang lalu, paling tidak berumur sama dengan seni prasejarah tertua di Eropa. selain itu, sebuah lukisan babi rusa juga dianalisis dan diperoleh pertanggalan absolut pada kisaran 35.4 ribu tahun yang lalu, dan menjadi salah satu lukisan figur binatang tertua di dunia. Dengan implikasi-implikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia Maros telah menciptakan lukisan yang diterakan di dinding gua pada sekitar 40 ribu tahun yang lalu atau pada akhir dari zaman Plestosen.
Penemuan pertanggalan penghunian manusia di gua-gua gamping di Maros, telah membuka tabir misteri kehidupan prasejarah Indonesia terhadap mata para arkeolog dunia. Kedudukan Indonesia menjadi begitu penting dalam konteks jalur migrasi manusia dan fauna pada kala plestosen.
Kekayaan Alam Yang Disengketakan
Potensi kawasan karst Maros-Pankep, Sulawesi Selatan sudah tidak dapat diragukan lagi dan sudah banyak dilontarkan para ahli seperti para geolog maupun speleology dan arkeolog, bahkan sampai di tingkat internasional. Potensi itu amat beragam. Dimulai dari goa-goa yang terdapat di kawasan karst merupakan "museum" yang merekam berbagai kejadian sejarah maupun prasejarah. Sejumlah fosil binatang purba ditemukan dalam goa-goa kapur, dari fosil binatang kecil, fosil binatang besar, manusia prasejarah, sampai dengan artefak- artefak dari kebudayaan manusia. Tidak hanya itu, berbagai hewan endemik dan artefak purbakala berada dalam ekologi goa.
Sesungguhnya potensi Pegunungan karst adalah sesuatu aset dan kekayaan alam bagi masyarakatnya maupun pemerintah daerah untuk membuka berbagai peluang alternatif dari sekedar eksplorasi dan penambangan batu gamping bagi para investor untuk keperluan industri destruktif. Namun pilihan lain adalah pada industri yang ramah lingkungan seperti program pariwisata berbasis “kerakyatan” yang dapat diterjemahkan bahwa masyarakat sebagai pengelolah sekaligus mendapatkan pendapatan ekonomi dari industri tersebut. Jadi bukan sebagai penonton yang mereka alami selama ini, tetapi turut terlibat untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber-sumber alam mereka sendiri. Peran pemerintah lebih pada pemberdayaan dan pasilitator dalam proses pembangunan suatu daerah dan kawasan ekowisata.
Fakta ilmiah membuktikan bahwa di dalam kawasan ini hidup begitu banyak spesies kupu-kupu. Beraneka ragamnya jenis spesies kupu-kupu maupun flora dan faunanya telah diteliti dan dipublikasikan oleh sejumlah peneliti asing seperti Wallace (1982), Guillermard (1889), dan Leefmans (1927).
Melimpahnya spesies kupu-kupu yang banyak ditemukan di kawasan ini terutama di Bantimurung (yang merupakan bagian dari Kawasan Karst Maros- Pangkep) sehingga wilayah ini sering dikenal sebagai The Kingdom of Butterflies. Selain kupu-kupu, hewan langka yang menjadi habitat kawasan ini di antaranya terdiri dari Burung Enggang Sulawesi (Penelopides exarhartus), kera tanpa ekor (Macaca Maura), Tarsius (Tarsius sp), Kuskus (Phalanger Ursius), Musang Sulawesi (Macrogilidia mussen braecki), Rusa (Carvus timorensis), dan aneka satwa liar lainnnya. Adapun sejumlah spesies tumbuh-tumbuhan yang masih ditemukan di kawasan ini, 30 jenis diantaranya merupakan jenis pohon ara atau beringin (Fiscus sp) yang digolongkan sebagai “key stone species”. Jenis tumbuhan lainnya yang juga ditemukan di dalam kawasan ini adalah jenis kayu hitam (Diospyros celebica) yang merupakan jenis tanaman endemic Sulawesi yang bernilai ekonomi tinggi.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, menunjukkan bahwa kawasan kars Maros-Pangkep mengandung sumber tambang yang besar utamanya untuk industri semen dan marmer serta kandungan batu kerikil dan pasir untuk keperluan bangunan. Hadirnya bakuan beku yang mengintrusi batu gamping di beberapa tempat menyebabkan terjadinya proses metamorfosa batugamping menjadi marmer.
Memperhatikan potensi kekayaan alam dan perkembangan wilayah yang terjadi, dapat dikemukakan adanya beberapa nilai strategis Kawasan Karst Maros- Pangkep;
• Aspek Ekonomi: Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, Kawasan Karst Maros- Pangkep mempunyai aspek-aspek yang berkaitan dengan usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, pengelolaan air dan pariwisata.
• Aspek Ilmiah: Dari sudut pandang ilmiah, kawasan karst Maros-Pangkep merupakan laboratorium ilmiah yang berkaitan dengan pengembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan mencakup ilmu geologi, speleologi, biologi, arkeologi, dan paleontologi.
• Aspek Humanisme: Melalui sudut pandang ini akan dapat diamati berbagai faktor yang menyangkut keindahan, rekreasi, pendidikan, unsur spiritual, agama atau kepercayaan.
• Aspek Konservasi: Aspek ini lebih terkait pada hal-hal yang berhubungan dengan ekosistem bentukan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keanekaragaman hayati dan lingkungannya.
Pendekatan Parsipatoris dan ADS
Kawasan ini, juga menyimpan banyak misteri sekaligus potensi yang melimpah dan sebagian lainnya belum dapat diteliti, dikelolah, dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat luas. Oleh sebab itu, menurut Tjahjono Prasodjo, salah satu pemerhati lingkungan gunung gamping (karst) dari Universitas Gajah Mada, mengusulkan perlu adanya tindakan nyata (aksi) berupa dialog dan kerjasama antar disiplin dan antar sektoral bagi pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan karst, Pesan yang ingin disampaikannya, bahwa perlunya keterpaduan (intergrated) dengan menggunakan pendekatan-pendekatan baru. Bisa memakai pendekatan partisipatoris dengan cara melibatkan seluruh unsur (komponent) dan potensi masyarakat dalam mengelolah dan memanfaatkan sumberdaya alam itu. Dapat juga menggunakan gagasan Otto Soemarwoto dengan paradigma Atur-Diri-Sendiri (ADS), yaitu memberikan peran lebih besar pada masyarakat dan meminimalkan peran pengawasan pemerintah terhadap persoalan sumberdaya alam tersebut. (Nas).
Referensi
BP3, 2011 Zonasi Gua-Gua Prasejarah Kabupaten Maros 2011. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar
Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu. Edited by Truman Simanjuntak. Translated by Gustaf Sirait, Daniel Perret, and Ida Budipranoto. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Intan S. Fadhlan M., 1996 Dampak Pertambangan Terhadap Situs Gua-Gua Prasejarah Di Kawasan Kras (Karst) Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. EHPA Ujung Pandang, 20-26 September 1996. Kantor Menteri Negara Lingkung-an Hidup. 1999. Kawasan Karst di Indonesia: Potensi dan Pengelolaan Lingkungan-nya. Jakarta.
Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor : 1456 K/20/MEM/2000
Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars.
Nasruddin, 1996 Hubungan Manusia Dan Lingkungan Lewat Pola Pemanfaatan Gua- Gua Hunian di Pangkep, Sulawesi Selatan. PIA VII-IAAI. Cipanas, 12-16 Maret 1996.
Otto Soemarwoto. 2001. Atur-Diri-Sendiri. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Prasodjo, Tjahjono. 2002. Gua, “Candi, dan Resan: Belajar dari Kasus-Kasus yang Terjadi pada Sumberdaya Arkeologis di Gunungkidul”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) IX. 23-28 Juli 2002, Kediri Jawa Timur.
Sulisytanto, Bambang, 2006. “Resolusi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Arkeologi di Indonesia: Suatu Kerangka Konseptual”. Jakarta: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, vol.24 No.1.Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi Nasional.
Soemarwoto, Otto. 1985. “Aspek Ekologi Kawasan Karst”. Simposium Nasional I Lingkungan Karst. Jakarta.
Tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang diketuai oleh Sukawati Susetyo, M.Hum kembali melakukan ekskavasi di Candi Adan-Adan pada 3-16 Juni 2021. Candi dengan latar belakang agama Buddha yang terletak di…