Jauh di daerah hulu sungai Komering, pada jarak sekitar 700 meter dari tepi Danau Ranau, di Desa Jepara (Kec. Banding Agung, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan) ditemukan sebuah runtuhan bangunan candi yang dibuat dari batu alam. Runtuhan bangunan kuno ini terletak pada kebun kopi yang letaknya di sebelah barat desa. Untuk mencapai lokasi tidak sulit karena sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan kota Baturaja dan daerah wisata Danau Ranau.
Candi Jepara untuk pertama kalinya dilaporkan penemuannya oleh seorang kontrolir Belanda yang bernama G.A Schouten (NBG 1885: 52-53). Dalam laporannya disebutkan bahwa Candi Jepara dibuat dari batu alam dan mempunyai denah berukuran 8,1 x 9,6 meter. Di sekitar runtuhan bangunan masih merupakan semak belukar dan di antara rimbunan semak terdapat batu-batu candi. Selanjutnya, dalam Oudheidkundige Verslag tahun 1914 disebutkan adanya sebuah suatu candi batu di Desa Jepara di tepi Danau Ranau.
Pada tahun 1937, seorang konservator musium di Palembang, melaporkan adanya fondasi bangunan candi dari batu alam yang berukuran 8,10 x 9,60 meter. Di sisi timurnya terdapat empat buah anak tangga. Profil dindingnya berbentuk ojief dan setengah lingkaran. Bangunan candi dari batu alam (maksudnya andesit) sangat jarang ditemukan di Sumatra (Schnitger 1937: 4).
Bangunan Candi Jepara dibuat dari batu alam. Bagian yang masih tersisa dari keseluruhan bangunan adalah bagian kaki. Ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1984 berhasil menampakkan sisa kaki bangunan ini, yang beberapa bagiannya juga sudah hilang. Bagian kaki bangunan yang nampak masih baik terletak di sisi barat, tetapi kedua ujungnya telah hilang. Bagian kaki yang mengalami kerusakan terparah terdapat di sisi timur. Pada bagian ini yang masih tersisa adalah pintu masuknya dengan ukuran 2,0 x 2,50 meter. Ukuran bangunan yang dapat diketahui adalah 8,30 x 9,70 meter membujur arah barat-timur. Kedalaman fondasi sekitar 30 cm. Profil bagian kaki ini adalah sisi genta dan setengah lingkaran.
Pemerian yang dibuat Schnitger berlainan dengan pemerian yang mutakhir, terutama pada ukurannya. Schnitger menyebutkan ukurannya 8,10 x 9,60 meter, sedangkan laporan yang mutakhir menyebutkan 8,30 x 9,70 meter. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pergeseran batu candi yang terjadi karena licinnya tanah tempat berpijaknya bangunan tersebut. Jika dihitung dari kedalaman fondasi, maka dapat diduga bahwa bangunan Candi Jepara tidak terdapat bagian badan dan atap bangunan. Dengan kata lain, bangunan Candi Jepara berbentuk semacam teras yang tidak mempunyai dinding (bilik) dan atap bangunan.
Berdasarkan pengamatan pada bentuk hiasan, pada bangunan Candi Jepara menunjukkan gejala bahwa bangunan tersebut belum selesai dikerjakan. Gejala ini terlihat pada bagian pintu masuk bangunan berupa goresan-goresan yang mengarah pada bentuk lengkungan. Goresan-goresan tersebut memberi kesan bahwa bangunan tersebut belum selesai dikerjakan.
Petunjuk pasti yang dapat menentukan pertanggalan bangunan Candi Jepara belum ditemukan. Petunjuk itu antara lain berupa prasasti. Namun demikian, petunjuk pertanggalan mengenai bila didirikannya bangunan Candi Jepara dapat diperoleh dengan cara mengadakan perbandingan langgam dengan candi-candi lain yang sudah diketahui pertanggalannya. Perbedaan langgam dapat dilihat dari bentuk profil kaki bangunan.
Pada umumnya, bangunan candi yang dibangun pada masa awal (misalnya candi-candi di Dieng dan Gedongsongo) mempunyai bentuk kaki bangunan yang tinggi, tanpa hiasan, dan berpelipit sederhana. Pada perkembangan selanjutnya, bentuk pelipit yang sederhana itu berubah menjadi bentuk sisi genta, setengah lingkaran, dan mempunyai hiasan. Pada akhir masa Hindu Buddha Indonesia (sekitar abad ke-15 Masehi, bentuk sisi genta dan setengah lingkaran berubah menjadi bentuk bersegi-segi (misalnya pada Candi Gedingsuro di Palembang dan candi-candi dari masa Majapahit). Jika diteliti bentuk profil kaki bangunan Candi Jepara yang mempunyai pelipit sisi genta dan setengah lingkaran, maka dapat diduga bahwa Candi Jepara berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi. Bentuk profil ini seperti yang ditemukan pada Candi Plaosan, Sari, dan Sambisari di Jawa Tengah. (BBU)
ABSTRAK Penelitian arkeologi di wilayah OKU oleh Pusat Arkeologi Nasional merupakan suatu rangkaian penelitian yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan. Pengumpulan data lapangan melalui metode dan teknik berlatar multidisipliner yang…