Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan karst di wilayah Kabupaten Manggarai, Flores, Indonesia. Secara geografis, lokasinya ± 14 km di sebelah utara kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai dan secara astronomi, terletak pada koordinat 08° 31’ 50.4” LS dan 120° 26’ 36.9” BT, dengan ketinggian ±500 m di atas permukaan laut. Nama “Liang Bua” berasal dari Bahasa Manggarai-Flores, “Liang” memiliki arti gua dan “bua” berarti dingin, jadi Liang Bua dapat diartikan “gua yang dingin”
Dilihat dari morfologinya, Liang Bua memang memiliki ciri sebagai hunian pada masa prasejarah. Hal tersebut terlihat dari ukuran gua yang dalam, lebar, dan atap yang tinggi, serta lantai gua yang luas dan relaif datar. Mulut gua yang menghadap ke timur laut turut mendukung untuk mendapatkan sinar matahari cukup dan sirkulasi udara yang baik. Lokasi gua yang dekat dengan aliran sungai (Sungai Wae Racang dan Wae Mulu), turut mendukung penghuninya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejak dilakukan penelitian pada tahun 1965 oleh Theodore Verhoeven, seorang Pastor dari Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores Tengah, kemudian dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) tahun 1978 – 1989, dan berlanjut dengan penelitian kerjasama antara Puslit Arkenas dengan Universitas New England dan Universitas Wollongong, Australia dari tahun 2001 hingga saat ini di Situs Liang Bua, telah banyak menghasilkan temuan arkeologi yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan.
Temuan paling spektakuler ditemukan pada 2003 yaitu fosil manusia purba Homo Floresiensis. Penemuan manusia purba ini sangat menggemparkan dunia arkeologi baik nasional maupun internasional dan cukup mengundang kontroversi. Kerangkanya ditemukan pada lapisan Plestosen Akhir di kedalaman 5,9 m. Pada lapisan ini, ditemukan kurang lebih 9 individu Homo Floresiensis, akan tetapi hingga saat ini hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh (Liang Bua 1/LB1). Dilihat dari ciri fisiknya, kerangka tersebut berjenis kelamin perempuan, diperkirakan berusia 25-30 tahun, dan memiliki karakeristik fisik yang unik, yaitu tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar. Bagian tengkorak memiliki ciri-ciri arkaik, seperti tulang kening menonjol dengan dahi miring ke belakang, volume otak 380 cm3 (diukur dengan mustard seed) dan 417 cm3 (diukur secara digital dari data CT scan). Bagian wajah menjorok ke depan (prognath) dengan rahang yang kekar, serta tidak memiliki dagu.
Untuk mengetahui pertanggalan Situs Liang Bua dilakukan serangkaian analisis laboratorium melalui 7 teknik yang berbeda, yaitu: Radiocarbon/C14, Luminescene (Thermoluminescene/TL, Optically-stimulated Luminescene/OSL, Infrared-stimulated Luminescene/IRSL), Electron Spin Resonance/ESR, Uranium-series/U-series, dan gabungan ESR/U-series.
Hasil analisis yang dilakukan pada tahun 2003 menyatakan bahwa Situs Liang Bua berusia sekitar kurang lebih 13.000 – 12.000 tahun yang lalu. Namun, pada tahun 2007-2014 para peneliti Situs Liang Bua dari Puslit Arkenas bekerja sama dengan Universitas Wollongong, Australia dan Program dari Smithsonian Institute melakukan evaluasi terhadap usia tulang Homo Floresiensis dan sedimen yang mengandung fosil.
Melalui analisis sedimen, didapat bukti stratigrafi baru dan kronologi situs Liang Bua. Berdasarkan hasil analisis, diketahui situs Liang Bua berusia antara 60.000 – 100.000 tahun yang lalu, sedangkan alat batu mereka diperkirakan berusia antara 50.000 – 190.000 tahun yang lalu, jauh lebih tua dibandingkan hasil sebelumnya. Hewan-hewan yang turut punah beserta Homo Floresiensis adalah gajah kecil, burung Marabou raksasa, burung Nazar, dan komodo. Hasil analisis terbaru yang lebih mendetail telah diterbitkan dalam Majalah Nature.
Meskipun telah dilakukan evaluasi dan dilakukan analisis kembali dengan hasil baru, namun ada pertanyaan yang masih belum terjawab, seperti apa alasan spesies Homo Floresiensis ini punah? Apakah Homo Sapiens turut andil dalam kepunahan mereka? Untuk menjawab pertanyaan diatas merupakan fokus penelitian selanjutnya. (Tim Penelitian Situs Liang Bua)
Pada masa Kadiri, di mana lokasi pusat kerajaannya ada di daerah cincin-api, atau lebih khususnya di sekitar gunungapi aktif, yaitu Kelud terjadi bencana alam yang hebat. Banyak bangunan candi yang…