Press Release
INTERNATIONAL SYMPOSIUM ON AUSTRONESIAN DIASPORA
18 – 23 Juli 2016
Simposium berskala internasional yang mengusung tema Diaspora Austronesia ini diselenggarakan atas kerjasama dua instansi yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, di bawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan, dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Simposium yang berlangsung pada tanggal 18 sampai dengan 23 Juli 2016 bertempat di Ayodya Resort, Nusa Dua, Bali ini diikuti oleh 200 peserta, 45 orang di antaranya adalah para pakar dari luar negeri terdiri dari para ahli terkait Austronesia dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, paleoiklim, paleogeografi, paleoantropologi, paleomusikologi, linguistik, dan genetika. Peserta simposium berasal dari 19 negara yakni China, Jepang, Taiwan, Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Timor Leste, Australia, New Zealand, Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Swiss, Irlandia, Amerika Serikat, dan Indonesia. Dalam kegiatan simposium ini juga dilakukan penyerahan penghargaan kepada Prof. Dr. François Sémah dari Muséum National d’Histoire Naturelle, Paris, Prancis, atas dedikasi dan kontribusinya terhadap arkeologi Indonesia. Penghargaan diberikan oleh Prof. Dr. Anie Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Austronesia dan Penuturnya
Austronesia, sebuah rumpun bahasa yang mencakup sekitar 1200 bahasadituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia, mulai dari Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Inilah rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia, merupakan jumlah bahasa terbesar di antara belasan rumpun Bahasa di dunia. Persebarannya di kawasan kepulauan yang maha luas merupakan fenomena besar dalam sejarah kemanusiaan. Penutur Austronesia muncul ca. 7000-6000 BP di Taiwan untuk kemudian ca. 5000 BP menyebar ke berbagai bagian dunia, membawa budaya khas Neolitik yang dicirikan oleh kehidupan menetap dengan kegiatan bertani, beternak, dll.
Penutur Austronesia tergolong Ras Monggolid Selatan dengan tampilan fisik yang sangat beragam oleh faktor-faktor genetika, lingkungan, dan budaya. Kemampuan beradaptasi di berbagai lingkungan mendorong perkembangannya dalam ruang dan waktu. Pada masa sekarang populasi Austronesia mencapai lebih dari 380 juta. Variabilitas geografi hunian dan interaksi luar yang sangat tinggi menjadikan budayanya pun sangat bineka. Sebaran dalam kawasan kepulauan yang maha luas, kemampuan adaptasi lingkungan, serta tampilan fisik dan budaya yang sangat beragam, menjadikan studi Austronesia selalu menarik perhatian para akademisi dan peneliti dari berbagai bagian dunia.
Di Indonesia, Penutur Austronesia hadir sejak sekitar 4000 tahun yang lalu seiring kedatangannya dari Taiwan melalui Filipina. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnisitas bangsa Indonesia sekarang. Indonesia pun memegang kunci dalam pemahaman Austronesia. Wilayahnya sangat luas dan terletak di tengah kawasan sebaran. Penghuninya melingkupi >60 % dari seluruh penutur Austronesia. Keberadaan penutur non-Austronesia di wilayah timur menambah daya tarik studi untuk mengetahui interaksi dua ras yang berbeda dalam ruang dan waktu.
Selain kegiatan simposium, rangkaian acara lainnya adalah fieldtrip ke Museum Subak dan Situs Jatiluwih di Tabanan yang merupakan tradisi berlanjut Austronesia, Situs Gilimanuk serta Museum Gilimanuk, yang merupakan situs necropolis penting. Selain itu, peserta simposium juga akan diajak mengunjungi pameran Austronesia dan pameran lukisan cadas di Bentara Budaya Denpasar.
Simposium ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penting tidak saja bagi kemajuan ilmu pengetahuan, melainkan juga untuk semakin dapat meningkatkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur budaya Nusantara (kebinekaan, kemaritiman, etnogenesis, kearifan-kearifan, dll) dalam membangun peradaban yang berkeindonesiaan. Simposium ini sekaligus diharapkan dapat membangkitkan minat generasi muda untuk mengungkap, memaknai, dan mencintai Sejarah dan akar budaya bangsa.
Pada masa Kadiri, di mana lokasi pusat kerajaannya ada di daerah cincin-api, atau lebih khususnya di sekitar gunungapi aktif, yaitu Kelud terjadi bencana alam yang hebat. Banyak bangunan candi yang…