Bertempat di aula Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, pada Selasa, 30 April 2019, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) hasil penelitian di pantai Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Penelitian arkeologi yang dikoordinir oleh Dra. Libra Hari Inagurasi, M.Hum. dengan anggota mengungkap bahwa pantai Lamreh, di Kecamatan Mesjid Raya memiliki potensi arkeologi yang berlimpah.
Tiga orang narasumber yakni Sonny Wibisono, M.A, DEA. (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), Bambang Sakti Wiku Atmojo (Balai Pelstarian Cagar Budaya Aceh), Dr. Silahuddin, M.Ag. (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Aceh Besar) menyampaikan presentasi pada FGD. Peserta FGD terdiri dari pegawai dari lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Aceh Besar, guru-guru sejarah SMP di Kab. Aceh Besar, pegawai di lingkungan kantor kecamatan Mesjid Raya, pegawai BPCB Aceh, pegawai dari Dinas Kebudayaan Kab. Aceh Besar, dosen dan mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniri Banda Banda Aceh. FGD bermaksud menyampaikan hasil-hasil penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional kepada pihak-pihak pemangku kepentingan dan berembuk bersama tentang potensi arkeologi di pantai Lamreh kedepannya.
Sonny Wibisono, menyatakan bahwa dari hasil penelitian arkeologi baik survei permukaan tanah maupun ekskavasi sangat memungkinkan dan tidak ragu bahwa Pantai Lamreh dulu merupakan titik-titik lokasi pelabuhan lama. Survei dan ekskavasi hingga kedalaman 120 cm di bawah tanah di sekitar muara Sungai Lubuk di Benteng Inong Balle, dan survei teluk (lhok cut) di sekitar Benteng Inong Balee, menemukan pecahan-pecahan keramik abad 12—18. Berdasarkan analisis dari Prof. (Ris.) Naniek Harkantiningsih ahli keramik Puslit Arkenas, diketahui bahwa kurva analisis memperlihatkan bahwa jumlah pecahan keramik terbanyak adalah keramik abad 13-14. Sementara keramik abad lainnya jumlahnya sedikit. Temuan pecahan keramik abad 13-14 tersebut menunujukkan bahwa aktivitas di Pantai Lamreh mencapai puncaknya pada abad ke 13-14. Periode tersebut sesuai dengan berita-berita mengenai kedatangan ekspedisi laut seperti seperti Marcopolo dan Cheng Ho. Pemukiman di Benteng Kuta Lubok telah ada sebelum benteng tersebut dibangun. Nama Lamuri telah mendunia dikenal di dunia internasional seperti yang diberitakan dalam catatan Cina abad ke 13-15, sangat dimungkinkan Lamreh merupakan salah satu nama tempat yang dimaksud dengan Lamuri. Selanjutnya Sonny Wibisono menyatakan mengingat potensi arkeologi dan namanya yang telah dikenal mendunia pada masa lampau, Lamreh dapat menjadi referensi untuk diajukan sebagai warisan dunia. Taman kota merupakan alternatif untuk pengembangan–pemanfaatan kawasan Situs Lamreh. Dengan taman kota memberikan fasilitas umum kepada masyarakat, mereka dapat menikmati pemandangan bukit dan pantai serta wisata sejarah.
Narasumber lainnya Bambang Sakti Wiku Atmojo menyampaikan usulan bahwa potensi arkeologi di Lamreh perlu ditetapkan sebagai situs. Sementara narasumber Silahuddin, menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan penelitian arkeologi oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengingat di Kab. Aceh Besar memiliki potensi tinggalan budaya yang berlimpah, perlu diungkap. FGD diakhiri dengan penyerahan replika batu nisan makam Sultan Muhammad Alawuddin dan Sultan Muhammad Sulaiman temuan dari Bukit Lamreh dan Pantai Kuta Lubok, dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional kepada BPCB Aceh dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab Aceh Besar. Nisan-nisan tersebut yang telah dikaji oleh tim penelitian berasal dari abad ke-15. Replika batu nisan tersebut diharapkan dapat menjembatani antara masa ratusan tahun yang lalu dengan masa sekarang yang terputus dan dapat menjadi pembelajaran untuk anak didik. (Libra Hari Inagurasi)
Pada masa Kediri, di mana lokasi pusat kerajaannya ada di daerah cincin-api, atau lebih khususnya di sekitar gunungapi aktif, yaitu Kelud terjadi bencana alam yang hebat. Banyak bangunan candi yang…