“Kita bangsa Indonesia beragam, berbaur, bertoleransi sudah sejak lama”, hal tersebut disampaikan oleh Truman Simanjuntak, pembicara pada seminar bertema Merajut Kebinekaan. Seminar berlangsung di Balai Agung, Balaikota Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan No.8, Jakarta Pusat, pada Selasa, 16 Mei 2017.
Keragaman bangsa Indonesia menurut Profesor Riset (Prof. Ris.) bidang arkeologi tersebut dibuktikan melalui temuan-temuan arkeologi. Keragaman bangsa Indonesia telah ada sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu, melalui proses migrasi dari berbagi penjuru dunia seperti Afrika dan Asia yang berlangsung sejak 2 juta tahun yang lalu dan terus berlanjut ribuan tahun kemudian. Selanjutnya Prof. Ris. Tersebut menjelaskan bahwa fase awal adalah migrasi manusia purba dari Afrika dan kemudian migrasi Penutur Austronesia. Mereka berbeda dari segi fisiknya dan hidup berdampingan menempati wilayah-wilayah di Kepulauan Indonesia. Migrasi ditunjukkan dengan bukti-bukti temuan-temuan arkeologi seperti kubur sejumlah individu dan alat-alat logam di Gua Harimau di Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, pada 15.000 tahun yang lalu. Keragaman bangsa Indonesia selanjutnya terlihat dari kehadiran agama dan budaya Hindu, Budha, dan Islam. Hindu dan Budha dapat berdampingan ketika masa Mataram Kuna dan masa Majapahit, demikian pula kehadiran Islam di Majapahit dapat berdampingan dengan agama lain yang telah ada sebelumnya seperti tercermin pada makam-makam di Troloyo, Jawa Timur. Selanjutnya Truman Simanjuntak menyampaikan bahwa tinggalan budaya manusia masa lampau memiliki nilai-nilai kebinekaan, dapat digunakan sebagai inspirasi dan bahan pembelajaran bagi bangsa Indonesia mensikapi tantangan yang dihadapi pada masa sekarang.
Keberagaman yang tercermin pada tinggalan budaya tersebut dibuktikan pula melalui riset-riset genetika. “Genetika pada bangsa Indonesia berragam”, hal tersebut diungkapkan oleh Herawati Supolo, Profesor bidang genetika dari Lembaga Eijkman, yang juga pembicara pada acara seminar tersebut.
Acara seminar diselenggarakan didorong oleh keprihatinan para arkeolog terhadap konflik di masyarakat akhir-akhir ini terkait pelaksanaan pilkada. Seminar diselenggarakan atas sinergi antara Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas). Para arkeolog, ahli genetika, dan didukung juga oleh ahli antropologi memberikan kontribusinya pada seminar tersebut. Mereka urun rembug dalam memberikan pemahaman kebinekaan, guna memperkokoh kesatuan bangsa. Sebagai bangsa yang berragam sudah semestinya antara suku yang dengan lainnya, antara agama yang satu dengan lainnya, sejajar tidak menganggap ada suku atau agama yang paling hebat diantara yang lainnya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara konflik-konflik yang muncul karena adanya perbedaan suku atau perbedaan keyakina yang satu dengan lainnya sebaiknya dihindari. (Libra Hari Inagurasi)
Daerah hulu Batanghari dan Rambahan, tidak lepas dari latar belakang sejarah daerah tersebut yang dikaitkan dengan dua kerajaan besar di awal Masehi yaitu Melayu dan Sriwijaya. Kedua kerajaan saling mendominasi…