PROFILE ARKENAS

Perintis Arkeologi

BEBERAPA TOKOH PELETAK DASAR-DASAR ARKEOLOGI INDONESIA

Perkembangan dunia arkeologi Indonesia tidak dapat lepas kaitannya dengan tokoh-tokoh arkeologi bangsa Belanda yang pernah malang melintang di situs-situs yang mengandung tinggalan budaya masa lampau di Nusantara, terutama di Jawa dan Sumatra. Bisa dimaklumi karena pada waktu itu Nusantara masih dijajah Belanda. Keberadaan tinggalan budaya masa lampau banyak dicatat oleh para arkeolog tersebut. Bahkan cikal bakal berdirinya Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, dirintis oleh para arkeolog Belanda tersebut Ada arkeolog yang profesional, ada yang amatir, dan ada pula yang berangkat dari kecintaannya terhadap keantikan suatu karya seni.
Dari sekian banyak yang menyatakan dirinya sebagai seorang ahli arkeologi yang tergabung dalam organisasi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) mungkin hanya sedikit yang mengetahui siapa orang itu sebenarnya, dan apa karyanya yang “monumental”. Sebagai seorang yang memproklamirkan dirinya arkeolog, sudah seharusnya mengenal orang-orang yang berjasa tersebut, mulai dari J.L.A Brandes dari abad ke-19, sampai dengan Uka Tjandrasasmita yang pernah bertualang di Sumatra Selatan dan Jambi pada tahun 1953 bersama-sama dengan R. Soekmono, R.P. Soejono, Satyawati Suleiman, dan Boechari.

Jan Laurens Andries Brandes
Tokoh ini dalam arkeologi Indonesia dikenal dengan nama Brandes atau J.L.A Brandes. Ia adalah salah seorang ahli arkeologi bangsa Belanda yang telah meletakkan dasar bagi perkembangan arkeologi Indonesia, khususnya dalam bidang epigrafi (=tulisan kuno). Ketika masih di Belanda, Brandes telah mempelajari bahasa Jawa Kuno dan prasasti. Karena itulah, setibanya di Hindia Belanda (Jawa) ia sudah tidak asing lagi dengan prasasti dan mulai menggarap prasasti-prasasti yang disimpan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional di Jakarta). Karyanya ini kemudian diterbitkan di dalam “Aanteekeningen Omtrent de op Verschillende Voorwerpen Voorkomende Inscriptie en een Voorlopigen Inventaries der Beschreven Steenen” dalam Catalogus der Archeologische Verzameling va het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, edisi W.P. Groeneveldt tahun 1887.
Pada tahun 1894 Belanda menyerbu Lombok termasuk menduduki istana Cakranegara. Dalam penyerbuan itu Brandes disertakan dengan tujuan untuk menyelamatkan benda-benda tinggalan budaya masa lampau, termasuk naskah-naskah kuno yang tersimpan di istana. Pada waktu itulah Brandes berhasil menemukan naskah Nagarakertagama yang isinya sangat penting bagi penulisan sejarah Majapahit. Naskah ini diterbitkannya pada tahun 1902 dalam bentuk asli, yaitu dalam aksara Bali. Naskah lain yang juga cukup penting bagi penulisan sejarah adalah Pararaton yang diterbitkannya lebih dahulu pada tahun 1896.
Pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi yang bernama Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera. Komisi ini bertugas menangani masalah-masalah kepurbakalaan yang ditemukan di Jawa dan Madura. Oleh pemerintah Hindia Belanda, Brandes diangkat sebagai Ketua Komisi dan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L. Leydie Melville. Komisi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Dinas Purbakala yang sekarang berkembang menjadi Pusat Penelitian Arkeologi.
Brandes meninggal pada tahun 1905 ketika masih menjabat sebagai Ketua Komisi. Sebagai ketua, banyak jasanya bagi perkembangan arkeologi Indonesia dan juga penyelamatan benda-benda tinggalan budaya masa lampau terutama yang ditemukan di Jawa dan Madura.

N.J. Krom
Adalah seorang ahli kesusasteraan Klasik Latin-Yunani bangsa Belanda. Beliau datang ke Hindia Belanda pada tahun 1910 untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera menggantikan J.L.A Brandes yang meninggal dunia.
Setelah menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, beliau menyadari bahwa persoalan kepurbakalaan Hindia Belanda tidak dapat ditangani hanya oleh sebuah komisi saja. Penanganannya harus dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang tetap dengan suatu organisasi yang baik. Berkat perjuangannya yang gigih, pada tahun 1913 berdirilah Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) dan beliau dipercaya oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai Kepala Dinas. Jabatan ini diembannya hingga tahun 1915, dan setelah itu beliau kembali ke Belanda.
Setelah selesai masa jabatannya, di Belanda beliau banyak menulis tentang arkeologi Hindia Belanda, termasuk menerbitkan naskah yang ditinggalkan Brandes Oud-Javaansche Oorkonden (OJO). Hampir seluruh karya tulis yang dibuatnya sangat mengagumkan dan monumental, di antaranya adalah monografi tentang candi Borobudur setebal 800 halaman folio dengan lampiran berupa foto-foto dan gambar-gambar relief candi Borobudur berupa tiga buah “buku raksasa” sebesar halaman surat kabar. Buku lainnya yang merupakan karya monumental adalah Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1919 dan 1923) dan Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926 dan 1931). Kedua buku ini, hingga sekarang masih dipakai sebagai pegangan dan landasan pertama bagi siapa saja yang berniat untuk bergerak dalam bidang serta pekerjaan sejarah kuno dan arkeologi Indonesia.

F.D.K. Bosch
Bosch sudah berada di Hindia Belanda sejak tahun 1914, dan pada tahun 1916 hingga tahun 1936 beliau dipercaya pemerintah kolonial untuk memimpin Oudheidkundige Dienst menggantikan pendahulunya, Krom yang kembali ke Belanda pada tahun 1915. Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah menyelesaikan pekerjaan yang dilakukan pendahulunya dan menerbitkannya. Karya monumental yang hingga kini masih dipakai sebagai pedoman para peneliti arkeologi adalah inventaris mengenai tinggalan budaya masa lampau. Buku inventaris ini hingga saat ini merupakan satu-satunya yang ada.
Bosch menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi setelah menulis “Een Hypothese Omtrent den Oorsprong der Hindoe-Javaansche Kunst” yang dimuat dalam Handelingen Eerste Congres voor Taal-, Land- en Volkenkunde van Java, tahun 1921. Dalam karyanya ini beliau mengungkapkan peranan bangsa Indonesia sebagai pencipta bangunan-bangunan candi serta kesenian lainnya. Karena peranan inilah maka tidak ada jurang yang memisahkan antara masa sekarang dari masa lampau bangsa Indonesia. Dengan landasan pemikiran itu, Bosch mengarahkan arkeologi Indonesia ke dalam dua usaha, yaitu: 1) penelitian yang mendalam terhadap unsur-unsur Indonesia dalam segala aktivitas kesenian pada masa lampau, dan 2) pengembalian kemegahan serta keindahan semua hasil kesenian masa lampau. Dari landasan pemikiran inilah maka selama masa kepemimpinan Bosch banyak candi yang dipugar, sehingga kemegahan dan keindahan candi tersebut dapat dinikmati masyarakat.
Perhatian terhadap kepurbakalaan di Hindia-Belanda tidak hanya melakukan pemugaran saja, tetapi juga memberikan perlindungan hukum. Melalui perjuangannya yang panjang, pada tahun 1931 keluar Monumenten Ordonantie (Stbl 1931 No. 238) yang kini telah menjadi Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Selama kepemimpinannya Bosch telah membawa arkeologi di Hindia-Belanda ke arah kedewasaan melalui pemikiran di berbagai bidang, baik prasejarah, kesenian, arsitektur, kebudayaan, maupun epigrafi sehingga arkeologi Indonesia mulai berdiri tegak sebagai ilmu dan sejajar dengan arkeologi di negara-negara lain.

W.F. Stutterheim
Sejak pertengahan tahun 1936 kepemimpinan Bosch di Oudheidkundige Dienst kemudian digantikan oleh Stutterheim. Stutterheim mulai bekerja di lembaga ini sejak tahun 1924, tetapi pada tahun 1926 ia ditugaskan untuk mendirikan dan mengepalai Algemene Middlebarre School (AMS) bagian A (setingkat Sekolah Menengah Atas jurusan Sastra Timur) di Solo. Dalam kurikulumnya, sekolah ini mencantumkan Sastra dan Sejarah Kebudayaan Indonesia sebagai mata pelajaran yang utama.
Meskipun beliau memimpin sebuah sekolah menengah, namun beliau tidak meninggalkan dunia arkeologi bahkan meningkatkan kemampuannya di bidang arkeologi. Usahanya tidak sia-sia hingga pada tahun 1936 beliau diangkat menjadi Kepala Oudheidkundige Dienst. Dalam usahanya menyelami kebudayaan Indonesia, beliau banyak bergaul dengan masyarakat Indonesia sehingga dapat menyelami pandangan orang Indonesia mengenai kebudayaannya di masa lampau. Dalam pikirannya dikemukakan bahwa kebudayaan Indonesia kuno haruslah dianggap sebagai kebudayaan Indonesia, sedangkan pengaruh kebudayaan India hanyalah sebagai tambahan. Karena itu, tidak menjadi masalah dari bagian India mana unsur kebudayaan itu datang, tetapi yang terpenting bagaimana unsur itu dapat berpadu dengan pola kebudayaan Indonesia.
Stutterheim bukan saja berjasa di dalam ilmu percandian dan kebudayaan Indonesia saja, tetapi beliau juga berjasa dalam memperhatikan keramik yang dapat dijadikan bahan kajian penelitian arkeologi. Pada tahun 1939 beliau memerintahkan penelitian keramik di Prambanan, dan pada tahun 1940 di Grobogan. Tujuan penelitiannya adalah untuk melokalisasikan Kerajaan Mda?. Dari penelitiannya itu dihasilkan suatu kesimpulan bahwa pada sekitar abad ke-9 Masehi Gunung Muria merupakan pulau tersendiri yang terpisah dari Jawa.

R. Soekmono
Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono termasuk dalam arkeolog pertama bangsa Indonesia yang berhasil menyelesaikan gelar sarjananya pada tahun 1953 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pak Soek, biasa dipanggil oleh rekan, bawahan, dan mahasiswanya, lahir di Ketanggungan (Brebes) pada tanggal 14 Juli 1922. Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soejono, Boechari, Uka Tjandrasasmita, Basoeki dan arkeolog Belanda pada tahun 1954 melakukan ekspedisi ke Sumatra. Dari ekspedisinya itu, beliau berpendapat bahwa pada masa Sriwijaya garis pantai Sumatra bagian timur terletak di daerah pedalaman. Di Jambi terdapat sebuah teluk, sedangkan kota Palembang terletak di ujung sebuah semenanjung. Pendapatnya ini terus dipertahankan hingga akhir hayatnya.
Soekmono merupakan orang Indonesia pertama yang lulus sebagai doktorandus dalam bidang studi arkeologi. Setelah lulus tahun 1953, pada tahun itu juga beliau diangkat sebagai Kepala Dinas Purbakala Republik Indonesia, suatu kedudukan yang sebelum itu dijabat oleh orang-orang Belanda. Jabatan ini terus dipangkunya hingga tahun 1973. Pada tahun 1970 beliau dipercaya pemerintah untuk memimpin Proyek Pemugaran Candi Borobudur, sebuah proyek besar yang didanai oleh pemerintah RI dan UNESCO.
Ditengah-tengah kesibukannya memimpin suatu proyek besar, pada tahun 1974 beliau sempat menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Candi, Fungsi dan Pengertiannya" di Universitas Indonesia. Pada bidang studi inilah keahlian dan pengalaman beliau dapat diuji, terutama pengetahuannya mengenai candi-candi di Indonesia. Pengalamannya pada Proyek Pemugaran Candi Borobudur menjadikannya seorang ahli mengenai bangunan candi yang sedang ditanganinya. Di dunia internasional pengetahuan beliau mengenai konservasi bangunan monumental banyak dipakai. Beberapa jabatan yang berkaitan dengan masalah-masalah konservasi banyak disandangnya.
Kesibukannya sebagai “praktisi arkeologi” tidak menjadikannya lupa akan dunia akademis. Pengetahuannya yang luas mengenai Sejarah Kebudayaan Indonesia, diamalkannya di ruang kuliah Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana, dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Batusangkar sebagai Dosen Luar Biasa (1953-1978). Pada tahun 1978 beliau dikukuhkan sebagai Gurubesar Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kemudian pada tahun 1986-1987 sebagai Gurubesar tamu di Rijksuniversiteit te Leiden, Belanda.

Satyawati Suleman
Satyawati Suleiman atau lebih dikenal dengan panggilan Ibu Leman atau Ibu Yati di kalangan sahabatnya, dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Oktober 1920. Lulus sebagai sarjana arkeologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1953, tetapi mulai bekerja di Dinas Purbakala sejak tahun 1948. Di kalangan para ahli arkeologi, Satyawati Suleiman dikenal sebagai ahli Ikonografi (seni arca), tetapi pengetahuannya mengenai benda-benda tinggalan budaya masa lampau sangat luas.
Pada tahun 1954, bersama-sama dengan R.P. Soejono, Uka Tjandrasasmita, Boechari, Basoeki dan para arkeolog Belanda melakukan ekspedisi ke Sumatra, terutama ke Sumatra Selatan dan Jambi. Ekspedisi yang dilakukannya itu, merupakan rintisan jalan untuk menelaah tentang Kerajaan Sriwijaya, khususnya studi tentang ikonografi arca-arca di Sumatra. Karirnya sebagai pegawai pemerintah di bidang kebudayaan, khususnya kepurbakalaan dimulai sebagai Atase Kebudayaan di India (1958-1961) dan dilanjutkan sebagai Atase Kebudayaan di Inggris (1961-1963). Selama bertugas di India beliau banyak menimba pengetahuan tentang candi dan arca yang kelak dapat bermanfaat bagi studi ikonografi dan candi di Indonesia.
Sekembalinya bertugas sebagai duta bangsa di bidang kebudayaan, pada tahun 1963 kembali ke Indonesia dan bertugas memimpin Bidang Arkeologi Klasik pada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Pada waktu itu yang memimpin Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional adalah Soekmono. Beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Arkeologi Klasik selama hampir 10 tahun (1963-1973).
Pada tahun 1973, Soekmono yang kala itu menjabat sebagai Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN), mendapat tugas sebagai Penanggung-jawab Proyek Pemugaran Candi Borobudur. Karena kesibukannya itu, jabatannya digantikan oleh Satyawati Suleiman. Satyawati Suleiman menjabat sebagai Kepala LPPN dari tahun 1973 hingga 1977. Di akhir masa jabatannya sebagai Kepala LPPN, lembaga tersebut berubah menjadi Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Perubahan ini disebabkan karena pemisahan LPPN menjadi dua lembaga yang berbeda tugas dan wewenangnya, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional bertugas melakukan penelitian arkeologi, dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala bertugas melakukan perlindungan dan pemugaran.
Selesai bertugas sebagai Kepala LPPN, Satyawati Suleiman masih berkiprah di bidang arkeologi sebagai Ahli Peneliti Utama di Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. (1977-1985). Pada waktu itu beliau menjabat juga sebagai Governing Board pada SEAMEO Project on Archaeology and Fine-Arts (SPAFA).

R.P. Soejono
Raden Pandji Soejono biasa dipanggil Pak Yono atau Oom Jon di kalangan dekatnya, lahir di Mojokerto pada 27 November 1926. Lulus sebagai sarjana arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1959, dan mendapat gelar Doktor dari fakultas tersebut pada tahun 1977. Pengalamannya dalam penelitian prasejarah telah dimulai sejak tahun 1953 ketika masih menjadi mahasiswa dengan selalu menyertai van Heekeren melakukan penelitian di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1954, bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono, Uka Tjandrasasmita, Boechari, Basoeki, dan arkeolog Belanda ikut dalam ekspedisi ke Sumatra. Dalam tim tersebut beliau bersama van Heekeren dan Basoeki melakukan penelitian di situs-situs prasejarah di daerah Lahat (Sumatra Selatan). Sejak awal hingga sekarang, minat dan keahlian beliau ada di bidang prasejarah, khususnya Paleolitik.
Pada tahun 1956 beliau secara resmi mulai bekerja pada Dinas Purbakala, dan ketika pada akhir tahun tersebut van Heekeren meninggalkan Indonesia, maka pekerjaannya dilanjutkan oleh Soejono. Penelitian yang pertama dilakukannya ialah mengadakan survei di daerah Buni (Bekasi) pada tahun 1960. 
Sebagai seorang arkeolog yang bekerja di lingkungan arkeologi, pada tahun 1960-1964 beliau menjabat sebagai Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Cabang Bali. Di wilayah kerjanya beliau dapat dengan leluasa melakukan penelitian yang lebih mendalam dan terencana pada situs-situs arkeologi yang terdapat di Bali. Dalam waktu yang relatif singkat, beliau berhasil mendata seluruh situs prasejarah mulai dari masa paleolitik hingga masa perundagian.
Karirnya sebagai seorang arkeolog yang bekerja di lembaga penelitian mencapai puncaknya pada tahun 1977, yaitu ketika diangkat menjadi Kepala Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Sebelumnya, ketika lembaga tersebut dikepalai oleh Satyawati Suleiman, beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Prasejarah hingga tahun 1977. Di bawah kepemimpinan beliau Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional mendirikan dua buah Unit Pelaksana Teknik (UPT), yaitu Balai Arkeologi Yogyakarta dan Balai Arkeologi Denpasar. Selain itu dibangun juga dua buah laboratorium, yaitu Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri di Bandung dan Laboratorium Bio dan Paleoantropologi di Yogyakarta.

Uka Tjandrasasmita
Uka Tjandrasasmita lahir di Subang pada tanggal 8 Oktober 1930. Dalam bidang arkeologi karirnya dimulai pada tahun 1952 dengan bekerja di Dinas Purbakala. Sebagaimana halnya dengan Satyawati Suleiman dan R.P. Soejono, beliau berkesempatan untuk ikut dalam tim ekspedisi ke Sumatra pada tahun 1954. Dalam tim itu beliau termasuk anggota yang termuda dan masih duduk di bangku universitas. Pada tahun 1960 beliau berhasil menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan mengambil spesialisasi di bidang arkeologi islam.
Sejak tahun 1960-an hingga tahun 1978 beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Arkeologi Islam pada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Kemudian sejak dibentuk Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, beliau dipercaya menjabat sebagai Direktur pada Direktorat tersebut hingga tahun 1990.
Sebagai ilmuwan di bidang arkeologi, Uka Tjandrasasmita lebih mengkhususkan diri pada tinggalan-tinggalan budaya masa pengaruh Islam di Indonesia. Di Indonesia, Uka Tjandrasasmita dikenal sebagai arkeolog yang mengkhususkan diri pada perkotaan masa Islam di Nusantara. Buku pertamanya tentang kota Islam yang beliau tulis berjudul Kota-kota Muslim di Indonesia. Keahliannya di bidang arkeologi Islam lebih diperdalam lagi setelah selesai menjabat sebagai Direktur. Sejak tahun 1990, beliau lebih banyak mengajar dan membuat penelitian/tulisan tentang arkeologi Islam.

[Bambang Budi Utomo]
Kerani Rendahan pada
Puslitbang Arkeologi Nasional